Well-Being & Psychological Well-Being

Well-Being & Psychological Well-Being
Well-being
Dalam beberapa penelitian, istilah well-being dan kebahagian sering digunakan secara bergantian. Namun para sarjana lebih memilih istilah well-being untuk menghindari ketidaktepatan dan konotasi biasa (Diener, 1984). Kebahagiaan merupakan ungkapan yang dipakai individu untuk menyatakan rasa senang, puas dan nyaman dengan kehidupannya. Argyle (2001) menyebutkan bahwa kebahagiaan sebagai emosi positif, kepuasan atas hidup dan kurangnya emosi negatif. Sementara Veenhoven (2000) menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah derajat dimana seseorang menilai positif keseluruhan hidupnya. Nettle (2005) mencoba memediasi perbedaan konsep dalam mendefinisikan kebahagiaan dan hubungannya dengan well-being melalui tiga level kebahagiaan, yaitu:
Level 1: kebahagiaan dimengerti sebagai perasaan suka cita dan kesenangan yang dipengaruhi oleh emosi atau perasaan. Dalam level ini tidak ada fungsi kognitif yang mempengaruhi.
Level 2: kebahagiaan dimengerti sebagai hasil penilaian individu atas kehidupannya. Kebahagiaan diperoleh melalui keseimbangan perasaan, yaitu keseimbangan antara suka cita dengan kedukaan. Dalam level ini, fungsi kognitif terlihat lebih kompleks.
Level 3: individu yang memiliki kebahagiaan digambarkan sebagai individu yang mampu mengarahkan dan menggunakan segala potensi dalam dirinya dan memiliki kehidupan yang baik. Istilah kebahagiaan yang biasa dipakai pada level ini adalah eudaimonia.
Berdasarkan penjelasan Nettle di atas dapat dipahami bahwa well-being berada pada level dua dari kebahagiaan. Konsep well-being mengarah pada keberfungsian psikologis dan pengalaman yang optimal (Ryan & Deci, 2001). Well-being dipelajari atau didalami dengan penuh semangat dalam psikologi sejak seperempat abad yang lalu. Penelitian terhadap well-being tampaknya menonjol secara khusus dalam beberapa penelitian empiris psikologi. Dalam hal ini, terdapat peningkatan akan kesadaran bahwa afek positif (positive affect) bukanlah lawan dari afek negatif (negative affect) dan well-being bukanlah ketidakhadiran dari penyakit (Cacioppo & Berntson, 1999). Pada tahap sebelumnya jelaslah bahwa psikologi berfokus pada kemajuan psikopatologi dan kurang memperhatikan well-being dan perkembangan atau pertumbuhan personal.
Awal tahun 1960-an terjadi peralihan fokus pada penelitian yang menekankan suatu bentuk preventif. Beberapa peneliti fokus melakukan penelitiannya terhadap pertumbuhan atau perkembangan individu (Deci, 1975), well-being (Diener, 1984) dan promotion of wellness (Cowen, 1991). Ketertarikan para peneliti atau ilmuwan psikologi terhadap well-being, growth dan wellness berlangsung secara berkesinambungan sampai akhirnya fokus atau perhatian mereka terarah kepada psikologi positif (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Salah satu konsep yang mendasar dalam penelitian psikologi positif adalah well-being (kesejahteraan). Konsep well-being mengacu pada fungsi psikologis dan pengalaman yang optimal (Ryan & Deci, 2001).
Well-being adalah suatu keadaan subjektif yang baik dan mencakup kebahagiaan, harga diri (self-esteem) dan kepuasan dalam hidup (Corsini, 2002). Pada umumnya, well-being dihubungkan dengan personal, interaksi sosial dan kepuasan hidup (Hoyer & Roodin, 2003). Ryff dan Singer (1996) menjelaskan bahwa well-being adalah suatu konsep yang terbentuk dari berbagai pengalaman dan fungsi-fungsi individu sebagai manusia utuh. Holmes (2005) menyebutkan bahwa well-being memiliki cakupan yang luas dan dalam, yang mungkin berbeda-beda, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Menurut Holmes, well-being dalam konteks di dalam kelas dan kehidupan yang lebih luas dapat dibagi ke dalam sub-sub kategori, yaitu kesejahteraan fisik (physical well-being), kesejahteraan emosional (emotional well-being), kesejahteraan mental dan intelektual (mental and intellectual well-being) dan kesejahteraan spiritual (spiritual well-being).
Penelitian atas well-being pada umumnya dilakukan dari dua pendekatan, yaitu hedonistic tradition dan eudaimonic tradition (Ryan & Deci, 2001).
Tradisi hedonistik (hedonistic tradition)
Menyamakan well-being dengan kesenangan hedonis atau kebahagiaan memiliki sejarah yang cukup lama. Aristippus, seorang filsuf dari abad IV, mengajarkan bahwa tujuan hidup adalah mengalami puncak kesenangan yang maksimum dan kebahagiaan adalah keseluruhan dari kenangan atau momen hedonik seseorang (Ryan & Deci, 2001). Para psikolog yang menganut pandangan hedonik ini cenderung berfokus pada konsepsi hedonisme luas yang mencakup kesenangan-kesenangan pada pikiran sebagaimana halnya pada tubuh (Kubovy, 1999). Untuk itu, pandangan utama di antara psikolog hedonik adalah well-being terdiri dari kebahagiaan subjektif dan menyangkut pengalaman yang menyenangkan lawan dari pengalaman tidak menyenangkan.
Kahneman, Diener dan Schwarz (1998) mendefiniskan psikologi hedonik sebagai studi dari apa yang membuat pengalaman-pengalaman dan hidup seseorang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pendekatan hedonik berfokus pada kebahagian (happiness). Secara umum, pendekatan hedonistik mendefiniskan well-being sebagai kehadiran dari afek positif (positive affect) dan ketidakhadiran dari afek negatif (negative affect) (Deci & Ryan, 2008). Terdapat begitu banyak cara untuk mengevaluasi kesenangan dan kesakitan dalam kehidupan manusia, namun banyak peneliti psikologi hedonik yang baru menggunakan pengukuran dari subjective well-being (SWB) (Diener & Lucas, 1999).
Subjective well-being telah diasosiasikan atau dihubungkan dengan hedonistik dalam pendekatan terhadap well-being. Well-being dianggap subjektif karena idenya adalah untuk individu-individu dalam mengevalusai diri mereka (Deci & Ryan, 2008). Subjective well-being terdiri dari tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, kehadiran keadaan jiwa/suasana hati yang positif (positive mood) dan ketidakhadiran dari negative mood. Ketiga komponen ini sering disingkat sebagai kebahagiaan (happiness) (Ryan & Deci, 2001). Oleh sebab itu, meningkatkan atau memaksimalkan well-being seseorang dipahami sebagai usaha memaksimalkan perasaan-perasaan kebahagiaan seseorang (Deci & Ryan, 2008).
Tradisi eudaimonik (eudaimonic tradition)
Banyak para filsuf, religius dan visioner yang kurang menerima bahwa kebahagiaan sebagai satu-satunya kriteria prinsipil dari well-being. Misalnya Aristoteles mempertimbangkan kebahagiaan hedonik sebagai sesuatu yang kurang ideal (Ryan & Deci, 2001). Dalam pandangan ini manusia diposisikan sebagai seperti budak pengikut dari hasrat atau keinginan. Aristoteles mengusulkan bahwa kebahagiaan yang benar ditemukan dalam ekspresi dari kebaikan atau sifat, yaitu berbuat apa yang pantas diperbuat (doing what is worth doing).
Tradisi eudaimonik berfokus pada kehidupan individu secara keseluruhan dan secara mendalam memuaskan (Deci & Ryan, 2008). Istilah eudaimonia berhubungan dengan well-being dan dibedakan dari kebahagiaan semata. Teori-teori eudaimonia menegaskan bahwa tidak semua keinginan/hasrat atau semua hasil yang mungkin seseorang menganggap bernilai akan menghasilkan well-being. Meskipun hal itu menghasilkan kesenangan, tetapi mungkin beberapa hasil tidak baik untuk orang dan tidak akan meningkatkan kebaikan (wellness). Oleh sebab itu, bagi perspektif eudaimonik, kebahagiaan subjektif tidak bisa disamakan dengan well-being (Ryan & Deci, 2001).
Waterman (1993) menyebutkan bahwa mengingat kebahagiaan didefinisikan secara hedonik, konsepsi well-being dalam pandangan eudaimonik menekankan pada cara bagaimana manusia untuk hidup dalam daimon-nya atau dirinya yang sejati (true self). Dalam hal ini, eudaimonia terjadi ketika aktivitas-aktivitas hidup manusia sangat sesuai (congruent) atau bertautan dengan nilai-nilai yang dianut dan secara keseluruhan menyatu atau bertautan serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaged) (Ryan & Deci, 2001).
Ryff dan Singer (1998) telah mendalami pertanyaan atas well-being dalam konteks teori-teori perkembangan dan pertumbuhan manusia. Selain itu, mereka juga mengadopsi pemikiran Aristoteles. Ryff dan Keyes (1995) yang menggambarkan well-being tidak sesederhana pencapaian kesenangan, tetapi usaha keras untuk kesempurnaan yang menunjukkan realisasi potensi seseorang.  Oleh sebab itu, Ryff dan Singer (1998) menentang model subjective well-being atas well-being sebagai model yang memiliki bidang (scope) yang terbatas.
Aktivitas-aktivitas hedonic yang dilakukan dengan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit akan menimbulkan well-being yang bersifat sementara dan berkembang menjadi sebuah kebiasaan sehingga lama-kelamaan kehilangan esensi sebagai suatu hal yang bermakna. Sedangkan aktivitas-aktivitas eudaimonik ternyata lebih dapat mempertahankan kondisi well-being dalam waktu yang relatif lama dan konsisten (Steger & Kashdan, 2007). Kepuasan dirasakan lebih besar ketika individu mengalami pengalaman relasi dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri dan memiliki makna dan tujuan dalam hidup (Ryff & Singer, 1998).

Berdasarkan penjelasan di atas, secara khusus dari kedua pendekatan terhadap well-being, dapat disimpulkan bahwa well-being adalah suatu situasi atau keadaan seseorang yang mengalami kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup, berfungsi secara optimal dan terealisasikannya potensi-potensi yang dimiliki sehingga mengalami pengalaman yang optimal. Dalam penelitian ini, peneliti akan berfokus pada psychological well-being. Berikut ini akan dijelaskan mengenai psychological well-being.

Pengertian Psychological Well-Being
Psychological well-being (PWB) merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari (Ryff & Keyes, 1995). Teori dari psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Pengembangan ini adalah sebuah bentuk kritik Ryff terhadap subjective well-being yang dianggap miskin teori (Ryff, 1989). Psychological well-being berhubungan dengan kriteria kesehatan mental positif, yaitu kesehatan mental sebagai ketidakhadiran penyakit mental, normalitas (normality) dan well-being (Jahoda, 1958). Ryff (1989) mengembangkan psychological well-being dengan mensintesis ide-ide dari teori-teori perkembangan, teori-teori klinis atas pertumbuhan personal, kematangan, aktualisasi diri dan individu yang berfungsi penuh serta kriteria kesehatan mental yang diformulasikan oleh Jahoda.
Haybron (2008) menyebutkan bahwa psychological well-being erat hubungannya dengan kebahagiaan (happiness) individu. Pengertian kebahagiaan sebagai kesejahteraan (well-being) adalah yang paling sesuai. Sementara itu, Busseri, Sadava, Molnar & DeCourville (2009) menegaskan bahwa psychological well-being yang tinggi dihubungkan dengan sedikit gejala-gejala ketidaksehatan mental, fungsi sosial yang lebih positif, relasi interpersonal yang lebih tinggi, kesehatan yang lebih baik, karakteristik dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik, serta kemampuan kognitif yang lebih tinggi.
Bartram dan Boniwell (2007) menjelaskan bahwa psychological well-being dihubungkan dengan kepuasan pribadi, harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki individu. Nusbaum dan Sen (1993) mendefiniskan psychological well-being sebagai kemampuan individu dalam meraih fungsinya; keberhasilan individu mencapai apa yang telah direncanakannya; keberhasilan dalam menghadapi berbagai macam situasi. Baron (1988) mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan keseluruhan kondisi psikologis individu termasuk di dalamnya kognitif, emosi dan perilakunya. Sementara Keyes (2006) menekankan psychological well-being pada perkembangan kemampuan dan kapasitas untuk menjadi manusia yang utuh, berfungsi dengan baik dan berguna.
Ryff (1995) menjelaskan bahwa psychological well-being merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Dalam hal ini psychological well-being dipahami sebagai keadaan psikologis seseorang yang sehat sehingga berpengaruh secara positif terhadap kehidupannya. Ryff (1989) juga menambahkan bahwa psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Psychological well-being memiliki hubungan dengan tingkat pemfungsian positif di dalam kehidupan seseorang. Dengan kata lain, psychological well-being seseorang berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis dalam menjalani hidup, yaitu individu yang memiliki psychological well-being yang baik adalah individu yang mampu mengaktualkan potensi-potensi (daimon) yang dimiliki dengan baik (Ryff, 1989).
Ryff (1995) menjelaskan psychological well-being sebagai suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari pada itu, yaitu kondisi individu yang mampu menerima diri sendiri dan masa lalunya (self-acceptance), mampu berkembang dan bertumbuh (personal growth), memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose of life), mampu membangun hubungan yang positif dengan yang lain (positive relationship with others), memiliki kapasitas dalam mengatur kehidupan dan lingkungannya secara efektif (environmental mastery) dan memiliki kemampuan untuk menentukan tindakannya sendiri (autonomy).
Berdasarkan beberapa pengertian psychological well-being di atas dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi psikologis individu yang baik dan mampu mengaktualkan potensi-potensi (daimon) yang ada dalam dirinya serta berfungsi dengan baik, yaitu mampu menerima dirinya, memiliki relasi yang baik dengan orang lain, mampu mengatur lingkungannya, mampu bertumbuh dan berkembang, memiliki tujuan dalam hidupnya dan otonom.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Ryff mengembangkan sebuah kerangka teoritik terintegrasi mengenai well-being berdasarkan beberapa literatur (Dierendonck, Diaz, Carvajal, Blanco, & Jimenez, 2008). Perspektif-perspektif yang terpenting dalam hal ini adalah teori-teori perkembangan, teori-teori klinis atas pertumbuhan personal, kematangan, aktualisasi diri dan individu yang berfungsi penuh serta kriteria kesehatan mental yang diformulasikan oleh Jahoda. Ryff memberikan argumennya bahwa semua isi pandangan atau perspektif tersebut saling melengkapi kriteria dari keberfungsian psikologis yang positif. Hal yang pokok dalam hal ini diformulasikan dalam istilah well-being. Pandangan ini memunculkan sebuah model kesehatan baru yang didasarkan pada konsepsi dari kesehatan sebagai tidak hanya ketidakhadiran dari penyakit, tetapi kehadiran sesuatu yang positif (Ryff & Singer, 1998).
Ryff (1989) berusaha mengembangkan konsep positive psychological functioning/well-being yang lebih operasional. Konsep ini berisi tentang bagaimana seseorang menilai diri dan kehidupannya melalui enam dimensi positive psychological functioning. Dimensi-dimensi tersebut telah banyak digunakan oleh banyak peneliti.  Ryff dan Keyes (1995) menyebutkan bahwa dimensi-dimensi itu hanya dapat dipahami secara menyeluruh dan tidak berdiri sendiri.  Dengan kata lain, semua dimensi saling berhubungan dan sama-sama memberikan sumbangan penting terhadap psychological well-being. Berikut ini adalah dimensi-dimensi psychological well-being tersebut.
Otonomi (Autonomy)
Pada dimensi otonomi ini, individu digambarkan sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri; individu yang memiliki kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku. Orang yang berfungsi secara penuh digambarkan sebagai individu yang memiliki internal locus of evaluation, yaitu menilai diri sendiri dengan menggunakan standar pribadi (Ryff & Keyes, 1995). Ryff (1989) menyebutkan bahwa individu yang memiliki dimensi otonomi yang tinggi adalah individu yang bebas, menolak atau melawan tekanan-tekanan sosial dengan berbagai cara; mampu meregulasi perilaku dari dalam; mampu mengevaluasi diri dengan standar-standar pribadi. Sementara individu yang memiliki dimensi otonomi rendah adalah individu yang berfokus pada ekspektasi dan evaluasi orang lain; tergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan-keputusan penting; menyesuaikan atau mencocokkan diri dengan tekanan-tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak.

Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi kapasitas dan kemampuan untuk mengatur kehidupan dan lingkungan secara efektif adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Individu yang sejahterah adalah individu yang mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungannya yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik (Ryff & Keyes, 1995). Ryff (1989) menggambarkan individu yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menguasai lingkungannya adalah individu yang memiliki kompetensi dalam mengatur lingkungannya; mampu mengontrol pertunjukan kompleks dari aktivitas-aktivitas luar; mampu memilih atau menciptakan situasi-situasi yang cocok dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai personal; memanfaatkan kesempatan atau peluang yang ada secara efektif.
Sementara individu yang memiliki dimensi penguasaan lingkungan yang rendah adalah individu yang memiliki kesulitan dalam mengatur situasi atau peristiwa setiap hari; merasa tidak mampu mengubah atau mengembangkan konteks sekitar; tidak menyadari kesempatan atau peluang di sekitar; memiliki kelemahan dalam mengontrol dunia luar. Faktor-faktor yang terdapat dalam aspek penguasaan lingkungan ini adalah memiliki kemampuan untuk mengatur dan memilih situasi serta lingkungan yang kondusif untuk mencapai tujuan (Compton, 2005).

Perkembangan Diri (Personal Growth)
Dimensi ini dapat dioperasionalkan dalam tingkat tinggi rendahnya kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkesinambungan. Ryff (1989) menyebutkan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan; melihat diri sedang bertumbuh dan berkembang; terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru; memiliki pemahaman atas potensi-potensinya; melihat perkembangan dalam diri dan perilaku secara terus menerus. Sementara individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini adalah individu yang merasa tidak mampu mengembangkan sikap-sikap atau perilaku-perilaku baru; merasakan kebosanan dan ketidaktertarikan dengan hidup; kurangnya perasaan akan perkembangan dan pengembangan sepanjang waktu; memiliki perasaan atas stagnasi personal.

Relasi positif dengan orang lain (Positive relation with others)
Relasi dengan orang lain sangat menentukan kebahagiaan seseorang. Dalam kenyataan bahwa kebahagiaan dan hubungan sosial sangat kuat dimana banyak psikolog menekankan bahwa manusia secara genetis diikat untuk membutuhkan satu sama lain (Diener & Diener, 2008). Dimensi ini dapat dioperasionalkan dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Ryff (1989) menggambarkan bahwa individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini adalah individu yang memiliki relasi yang hangat, kepuasan dan kepercayaan dengan orang lain; individu yang memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain; mampu bersimpati, berafeksi dan intimasi yang kuat; mampu memberi dan menerima orang lain. Sementara individu yang memiliki relasi yang rendah dengan orang lain adalah individu yang tidak percaya berhubungan dengan orang lain; individu yang menghadapi kesulitan untuk terbuka, menjadi hangat, dan perhatian dengan orang lain; tertutup atau terisolasi dan frustrasi dengan relasi interpersonal; tidak memiliki keinginan untuk memelihara ikatan penting dengan orang lain.

Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Individu yang memiliki psychological well-being yang baik adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan. Dimensi ini dapat dioperasionalkan dalam tingkat tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Orang yang memiliki psychological well-being adalah orang yang menemukan makna hidupnya (Ryff & Keyes, 1995). Ryff (1989) menyebutkan bahwa individu yang memiliki purpose in life yang tinggi adalah individu yang memiliki tujuan-tujuan dan keterarahan dalam hidup; memiliki perasaan akan arti hidup masa lalu dan masa yang akan datang; memegang keyakinan akan tujuan-tujuan hidup; memiliki tujuan-tujuan dan sasaran hasil untuk hidup. Sementara individu yang memiliki aspek purpose in life yang rendah adalah individu yang hanya memiliki beberapa tujuan dalam hidup; kurangnya pendirian akan arti hidup; kurangnya arah hidup; tidak melihat tujuan pada hidup masa lalu; tidak memiliki keyakinan akan arti hidup.

Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari psychological well-being. Dalam dimensi penerimaan diri ini, individu digambarkan sebagai orang yang menghargai dirinya secara positif termasuk kesadaran akan keterbatasan diri pribadi. Ryff (1989) menyebutkan bahwa individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi penerimaan diri adalah individu yang memiliki sikap positif terhadap diri, mengetahui dan menerima berbagai macam aspek dalam diri termasuk yang baik dan buruk, dan menerima pengalaman masa lalu atau dengan kata lain merasa postif terhadap masa lalunya. Sementara individu yang memiliki skor rendah pada dimensi penerimaan diri adalah individu yang merasa tidak puas dengan hidupnya, merasa kecewa dengan masa lalunya, bermasalah dengan beberapa kualitas personalnya dan mengharapkan diri yang berbeda dengan dirinya yang riil atau dengan kata lain tidak menerima realitas dirinya.

Berdasarkan penjelasan mengenai dimensi-dimensi psychological well-being di atas dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan masa lalunya, mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain, mampu menentukan tindakan sendiri, memiliki kapasitas dalam mengatur kehidupan dan lingkungannya, memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan, serta berkembang dan bertumbuh.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Berdasarkan temuan Ryff dan Keyes (1995), terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan psychological well-being seseorang, yaitu faktor demografis, kepribadian, dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan faktor keberagaman. Sementara Ryan dan Deci (2001) menyebutkan bahwa psychological well-being inidividu dapat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan perbedaan individual, emosi, kesehatan fisik, kelekatan dan relasi, status sosial dan kekayaan serta pencapaian tujuan. Berikut ini adalah penjelasan singkat dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang:
Faktor demografi
Faktor demografi diyakini memiliki hubungan dengan tingkat psychological well-being seseorang. Beberapa faktor demografi tersebut adalah usia (Ryff & Keyes, 1995), jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya (Ryff, 1989). Perbedaan usia mempengaruhi tingkat dimensi-dimensi psychological well-being seseorang. Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa bertambahnya usia seseorang berpengaruh pada dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi yang dimilikinya. Namun pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia.

Dukungan sosial
Dukungan sosial juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang (Mabekoje, 2003; Johana, Yulianto & Widyanti, 2007; Buchanan & Bowen, 2008; Goldberg & Smith, 2008; Asante, 2012; Maria, 2012). Asante (2012) dalam penelitiannya pada penderita HIV/AIDS menemukan bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial lingkungan, maka semakin tinggi pula tingkat psychological well-being penderita HIV/AIDS.

Faktor religiusitas
Faktor religiusitas juga berhubungan dengan tingkat psychological well-being seseorang (Green & Elliott, 2010). Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, memiliki psychological well-being yang tinggi juga.

Efikasi diri
Faktor efikasi diri juga berhubungan dengan psychological well-being (Mabekoje, 2003; Singh & Udainiya, 2009; Williams, Wissing, Rothmann & Temane, 2010; Salami, 2010; Raihana, 2012). Salami (2010) dan Raihana (2012) menemukan bahwa efikasi diri berkorelasi positif dengan psychological well-being. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat efikasi diri individu, maka semakin tinggi juga tingkat psychological well-being individu tersebut.

Comments

Popular Posts