Pengaruh Sense Of Self (Perasaan Diri) Terhadap Perilaku Dan Prestasi Akademik Siswa


Pengaruh Sense Of Self (Perasaan Diri) Terhadap Perilaku Dan Prestasi Akademik Siswa


Scito te ipsum (kenali dirimu sendiri) dan Im Anfang war der Tat! (kembalilah kepada kesadaran dirimu) kata seorang filsuf modern yang dulunya seorang penggembala angsa, Johann Gottlieb Ficthe (Simon Petrus L. Tjahjadi, 2004). Pengetahuan tentang segala sesuatu berawal dari kegiatan berpikir Subjek yang merefleksikan dirinya sendiri. Jika seorang individu mengamati dirinya sendiri, maka secara sadar dia melihat adanya sifat dan karakter dirinya yang muncul dengan sendirinya. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah dirinya akan menuntunnya kepada sebuah gambaran diri. Jawaban-jawaban dari berbagai macam pertanyaan tentang diri akan menjadi pintu untuk masuk ke dalam perasaan diri (sense of self), yaitu persepsi, keyakinan, penilaian, dan perasaan seorang individu tentang siapa dirinya sebagai seorang pribadi (persona). Perasaan diri ini dibedakan menjadi dua aspek, yaitu konsep diri (self-concept) dan rasa harga diri (self-esteem). Konsep diri adalah penilaian terhadap karakter, kekuatan dan kelemahan diri seorang individu; sementara rasa harga diri adalah penilaian dan perasaan tentang nilai dan harga diri seorang individu.

Dalam dunia pendidikan, para siswa cenderung memiliki parasaan harga diri yang bersiafat umum. Mereka memiliki keyakinan bahwa diri mereka sebagai individu yang baik, cakap, dan bernilai. Mereka menyadari diri mereka sebagai pribadi yang memiliki kekuatan dan kelemahan, dimana mereka melakukan beberapa hal dengan baik dan beberapa hal lain dengan buruk. Seorang siswa pada kelas-kelas pertama sekolah dasar membuat distingsi yang umum antara dua aspek tentang dirinya, yaitu dengan melihat dan mengenali kompetensinya dalam mengerjakan tugas-tugas hariannya; dan relasi atau kehadirannya (disukai atau tidak) di dalam keluarga dan kelompoknya. Dalam perjalanan waktu, di mana usianya semakin dewasa, dia akan membuat distingsi-distingsi yang lebih tajam. Pada akhir-akhir sekolah dasar, dia mungkin menyadari bahwa dirinya sekurang-kurangnya berkompeten (meraih hasil yang baik) dalam bidang akademis dan aktivitas-aktivitas olah raga. Dia merasa bahwa diri dan perilakunya di kelas diterima oleh teman-temanya. Demikian juga pada usia menjelang remaja, dia akan membuat asesmen diri tentang kemampuannya dalam berelasi dengan temannya, kompetensinya dalam mengerjakan tugas-tugas orang dewasa, dan daya tarik romantisnya.

Pada saat memasuki masa remaja, Harter menyebutkan bahwa perasaan diri siswa memiliki setidaknya delapan komponen yang berbeda-beda (Ormrod, 2008), yaitu: seberapa cerdas saya di mata pelajaran yang saya terima di sekolah?; seberapa terampil saya sebagai seorang atlet?; seberapa baik saya berperilaku?; seberapa menarik saya secara fisik?; seberapa besar orang lain menyukai saya?; apakah saya memiliki banyak teman baik?; seberapa romantis penampilan saya?; seberapa sukses saya nanti dalam karier saya? Komponen-komponen ini memiliki pengaruh terhadap sense of self para siswa. Bagi sebagian siswa, pencapain akademis mungkin menjadi faktor yang utama, sementara bagi siswa yang lain popularitas di antara teman-teman mereka menjadi faktor yang lebih penting. Dalam banyak realitas, daya tarik fisik memiliki kontribusi yang signifikan terhadap rasa harga diri (self-esteem) bagi banyak anak muda.

Anak-anak dan para remaja cenderung berperilaku dengan cara-cara yang mencerminkan kenyakinan mereka tentang diri mereka sendiri. Pada umumnya, siswa-siswa yang memiliki persepsi diri yang positif cenderung berhasil secara akademis, sosial, dan fisik. Mereka yang memandang diri sebagai individu yang baik akan lebih mudah memberikan perhatian, mengikuti petunjuk, dan melibatkan diri dalam berbagai mata pelajaran yang menantang. Kepercayaan siswa terhadap diri mereka, sebagian besar dibentuk oleh diri sendiri (self-constructed). Dalam melakukan asesmen terhadap diri mereka dengan akurat, para siswa lebih mampu memilih aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan usia mereka dan melakukan pekerjaan mereka kea rah sasaran yang realistis. Disamping itu, asesmen diri yang berlebihan juga memiliki manfaat di mana para siswa akan termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang memiliki sasaran yang menantang. Namun, asesmen diri yang bias positifnya terlalu berlebihan juga dapat menimbulkan perasaan superior siswa di hadapan teman-temanya. Demikian juga dengan asesmen diri yang terlalu condong ke bias negatif (merendahkan diri sendiri) akan menyebabkan siswa menghindari berbagai tantangan yang sesungguhnya mampu meningkatkan pertumbuhan kognitif dan sosial para siswa.

Ormrod (2008) menyebutkan tiga faktor yang memiliki pengaruh terhadap konsep diri siswa, yaitu performa siswa sebelumnya, perilaku individu lain, dan keanggotaan dan prestasi dalam kelompok. Ketiga faktor ini memberikan wawasan bagaimana orang tua, guru, dan orang lain dapat meningkatkan perasaan diri (sense of self) siswa.

Performa sebelumnya
Masa lalu menjadi hal yang penting dalam perjalanan seorang individu. Seorang individu yang memiliki masa lalu yang baik akan mempengaruhi keberhasilannya pada saat ini dan yang akan datang. Menurut Damon, Marsh dan Craven (Ormrod, 2008), asesmen diri para siswa dipengaruhi oleh kesuksesan pada masa lalu.Para siswa cenderung mempercayai bahwa mereka memiliki bakat dalam bidang tertentu dan berperilaku baik jika dalam kelas-kelas sebelumnya mereka meraih prestasi yang baik dan mampu menjaga relasi dengan teman-temannya.

Perilaku orang lain
Menurut Guay, Bolvin dan Hodges (Ormrod, 2008) terdapat dua cara bagaimana perilaku orang lain mempengaruhi diri siswa: pertama, dalam evaluasi diri siswa, siswa biasanya bergantung pada perbandingan performa yang dia buat dengan performa siswa-siswa lain terutama teman sebayanya. Kedua, persepsi diri siswa dipengaruhi oleh perilaku orang lain terhadap diri mereka. Orang dewasa dan sebaya mengkomunikasikan penilaian mereka melalui perilaku.

Keanggotaan dan prestasi dalam kelompok
Harter, Wigfield, Eccles dan Pintrich (Ormrod, 2008) menyebutkan bahwa secara umum, para siswa cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi bila mereka tergabung dalam kelompok-kelompok yang sukses. Phinney, Sheets dan Hollins (Ormrod) menyebutkan bahwa anak menyadari dan bangga terhadap kelompok etnik mereka, dan dengan suka rela menjalankan beberapa perilaku kelompok.
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibandingkan dengan orang tua. Para remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kulikuler dan bermain dengan teman. Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya memiliki pengaruh yang signifikan. Pada diri para remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Hurlock,1990).

Guru memiliki peran penting dalam pembentukan individusiswa yang memiliki sense of self yang positif. Pembentukan sense of self siswa inidapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Perilaku mendengar, merasakan, menghormati dan menciptakan komunikasi yang lebih terbuka dengan siswa akan sangat membantu seorang siswa membuka diri dalam proses pengembangan diri dan pembentukan perasaan diri positif. Disamping itu, seorang guru juga dapat membangkitkan semangat para siswa dengan cara memberikan kepercayaan bahwa mereka mampu meraih sukses. Dengan adanya komunikasi yang positif antar guru dan siswa, diharapkan dapat membentuk konsep diri dan harga diri yang positif. Pembentukan konsep diri dan harga diri di dalam kelas dilakukan dengan memberikan tugas berbasis kelompok yang berorientasi kepada pengembangan kemampuan afektif siswa serta penggunaan umpan balik terhadap kemajuan pembelajaran siswa.


Daftar Pustaka

Hurlock, E. B., 1990. Developmental psychology: a lifespan approach. Boston: McGraw-Hill.
Jeanne Ellis Ormrod. 2008. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jilid I, Erlangga, Jakarta
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta

Comments

Popular Posts