Studi Kasus (Case Study)
Studi Kasus (Case Study)
Studi kasus dalam rangka pelayanan bimbingan merupakan metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang/siswa secara lengkap dan mendalam, dengan tujuan mendalami individualitas siswa dengan lebih baik dan membantunya dalam perkembangan selanjutnya (Winkel, 1997). Studi kasus (case study) berbeda dengan studi riwayat hidup (case history), karena case history merupakan pengumpulan data tentang riwayat hidup konseli/siswa dalam berbagai aspek kehidupannya. Sedangkan studi kasus mengandung pula analisis terhadap hubungan antar data yang terkumpul, disertai interpretasi dan rekomendasi tentang tindak lanjut (follow-up). Maka studi kasus mencakup studi riwayat hidup.
Objek studi kasus biasa seorang konseli/siswa yang menarik perhatian karena mengalami kesulitan dalam belajar atau pergaulan sosial lebih banyak daripada siswa-siswa lain, atau menunjukkan perilaku yang sedikit banyak menyimpang. Jadi, siswa yang menjadi kasus khusus (problem case) adalah siswa yang membutuhkan pelayanan khusus pula. Biasanya konselorlah yang menangani studi kasus, karena studi ini berkaitan erat dengan layanan konseling, sebelum, selama, dan sesudah diadakan studi kasus. Dalam keadaan tertentu, bila konselor sampai pada kesimpulan bahwa dia tidak berkompeten untuk melayani seorang siswa, studi kasus di sekolah menghasilkan rekomendasi supaya siswa itu di serahkan ke ahli lain di luar lingkungan institusi pendidikan (referral).
Data yang dibutuhkan diperoleh dari berbagai sumber yang dapat diandalkan, seperti kartu pribadi, wawancara informasi, otobiografi, data hasil testing, arsip catatan kesehatan, wali kelas, guru-guru, petugas bimbingan yang lain, dan orang-orang lain yang sudah lama mengenal siswa. Pada umumnya data dan informasi meliputi: identitas, latar belakang keluarga, riwayat pertumbuhan jasmani, riwayat pendidikan dan hasil evaluasi belajar, data hasil testing, minat dan hobi, rencana masa depan, jaringan pergaulan sosial, dan data lain yang berkaitan dengan kesulitan yang tampak sekarang ini.
Setelah semua data yang relevan dan signifikan terkumpul, konselor menulis suatu ringkasan riwayat hidup, menghubungkan data yang satu dengan yang lain untuk menemukan asal-usul permasalahan yang muncul pada saat sekarang, merumuskan interpretasi berdasarkan pertimbangan professional (professional judgment), dan memberikan rekomendasi tentang tindak lanjut. Laporan studi kasus harus disusun secara sistematis, ditulis dengan jelas, bersifat komprehensif, dan bebas dari subjektivitas yang tidak wajar. Oleh sebab itu, studi kasus merupakan suatu proyek yang menuntut keahlian dalam mengumpulkan data, saling menghubungkan data, mengadakan interpretasi, dan memberikan rekomendasi. Selain itu, studi kasus membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh karena alasan-alasan inilah studi kasus tidak boleh dijadikan proyek untuk gengsi pribadi atau untuk sekedar memenuhi tuntutan akreditasi, karena perhatian tidak difokuskan pada kepentingan siswa sebagaimana mestinya.
Konferensi kasus (case conference) merupakan pertemuan untuk diskusi bersama antara tenaga bimbingan, guru serta wali kelas, tentang seorang siswa yang membutuhkan perhatian khusus karena timbul kesulitan khusus. Yang memimpin pertemuan itu adalah kordinator bimbingan atau seorang konselor yang diberi tanggung jawab khusus terhadap kasus itu. Yang berpartisipasi adalah semua tenaga kependidikan yang rela ikut mengumpulkan data dan membahas bersama apa yang dapat diusahakan untuk membantu siswa bersangkutan demi perkembangannya yang lebih sehat. Konferensi kasus dapat diadakan lepas dari studi kasus yang ditangani oleh seorang konselor, sehingga merupakan suatu studi kasus bersama. Dapat juga terjadi pada studi kasus yang pada dasarnya ditangani oleh satu orang, tetapi pada saat-saat tertentu diminta pandangan rekan-rekan tenaga kependidikan, khususnya yang menyangkut interpretasi data dan rekomendasi tentang tindak lanjut. Selain bermanfaat bagi siswa tertentu, konferensi kasus juga sangat bermanfaat bagi jajaran tenaga kependidikan sendiri, karena mereka berkesempatan bertukar pikiran serta lebih memahami sudut pandang seorang tenaga pengajar dan pandangan seorang tenaga pembimbing. Namun data rahasia pribadi yang dipercayakan kepada konselor dalam rangka wawancara konseling, bukan materi untuk dibahas dalam konferensi kasus.
Referensi
Winkel, W. S., 1997. Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan, Jakarta: PT. Gramedia.
Comments
Post a Comment