Masa Remaja (Adolescent)

Ana Freud Tentang Masa Remaja

Meskipun Freud menulis sketsa umum tentang masa remaja, namun sebenarnya dia menulis sedikit saja tentang perbedaan distingtif dan pola-pola tingkah laku di tahap kehidupan ini. putrinyalah, Anna Freud, yang memberikan banyak kontribusi bagi studi psikoanalisis tentang masa remaja.
Titik awal Anna Freud sama dengan Freud mengenai pengalaman masa remaja terhadap munculnya perasaan-perasaan odipal yang membahayakan. Yang khas di sini adalah anak muda sadar akan kebencian yang semakin besar terhadap orangtua dari jenis kelamin yang sama. Perasaan-perasaan inses terhadap orangtua berjenis kelamin berbeda masih tetap tidak disadari.

Anna Freud bahwa ketika anak remaja mengalami kemunculan perta sekali perasaan-perasaan odipal ini lagi, impuls pertama mereka adalah melarikan diri. Mereka merasakan tegangan dan kecemasan terhadap kehadiran orangtua dan merasa aman hanya jika terpisah dari mereka. Beberapa remaja biasanya melarikan diri dari rumah pada waktu-waktu ini, sementara yang lain masih tetap tinggal di rumah “mengikuti tingkah laku orang kebanyakan”. Mereka menutup diri di kamar dan merasa nyaman hanya jika berkumpul dengan teman-teman sebaya.
Anak remaja juga berusaha melarikan diri dari orangtua dengan mengembangkan bentuk-bentuk sinis terhadap mereka. Meski mengakui ketergantungan dan cinta kepada orangtua, namun tingkah laku mereka terbalik total. Seolah mereka mengira bisa menjadi bebas dari keterlibatan orangtua jika berpikir secara berbeda. Di sini para remaja menganggap diri mereka bisa menjadi independen namun sebenarnya orangtualah yang masih mendominasi hidup mereka karena banyak energi yang mereka habiskan untuk menyerang dan mencemooh orangtua.

Selain itu, para remaja juga berusa mempertahankan diri terhadap perasaan dan impuls mereka, tanpa memperdulikan objek-objek tempat perasaan mereka diletakkan. Salah satu strateginya adalah asketisme – berusaha mengabaikan semua kesenangan fisik. Anak laki-laki atau perempuan bisa melakukan diet makanan yang sangat ketat, menolak kesenangan dari pakaianpakaian yang menarik, tarian, musik, atau apapun yang menyenangkan – atau berusaha menguasai tubuh dengan latihan-latihan fisik yang melelahkan.
Pertahanan lain terhadap impuls-impuls adalah intelektualisasi. Para remaja berusaha mengubah masalah seks dan agresi menjadi bentuk intelektual dan abstrak. Dia bisa mengkonstruksi teori-teori elaborative tentang hakikat cinta dan keluarga, tentang kebebasan dan otoritas. Meskipu teori-teori remaja bisa brilian dan orisinil, namun secara tersamar mereka memadukannya dengan upaya-upaya mengatasi masalah odipal ditataran intelektual murni.

Anna Freud juga mengamati kalau gangguan masa remaja, pertahanan diri dan strategi yang penuh keputusasaan di periode ini merupakan hal yang normal yang bisa diprediksi. Sebaliknya, Anna malah berpikir kalau remaja mestinya diberikan ruang dan waktu tersendiri untuk mencari solusinya. Namun begitu, orangtua juga memerlukan bimbingan, karena terdapat sejumlah situasi di dalam hidup yang lebih sulit mereka tangani ketimbang kesulitan yang ditangguang remaja yang berusaha membebaskan diri (Crain, 2007).

Anna Freud (dalam Santrock, 1996) mengembangkan gagasan bahwa mekanisme pertahanan merupakan kunci untuk memahami penyesuaian diri remaja. Ia percaya bahwa masalah remaja tidak akan dipecahkan dengan memahami Id atau kekuatan naluriah, melainkan akan ditemukan dalam “objek cinta” dalam masa lalu remaja, baik yang oedipal maupun pra-oedipal. Ia menyatakan bahwa keterikatan pada objek cinta ini – biasanya orangtua – dibawa terus dari masa anak dan hanya dikurangi atau dihambat selama masa laten. Selama masa remaja, dorongan pra-genital ini dapat bangkit kembali, atau lebih buruk, dorongan genital yang baru diperoleh (remaja) mungkin bergabung dengan dorongan yang berkembang pada masa anak awal.

Anna Freud kemudian menggambarkan bagaimana mekanisme pertahanan remaja digunakan untuk mencegah penyusupan yang kekanak-kanakan ini. Remaja mungkin menarik diri dari keterikatan dan identifikasi dengan orangtuanya dan mendadak mengalihkan cinta mereka pada orang lain – pengganti orangtua, pemimpin yang merepresentasikan nilai ideal, atau teman sebaya. Atau ketimbang mengalihkan keterikatan pada orang lain, remaja mungkin membalik perasaannya terhadap tokoh keterikatan – mengganti cinta dengan benci atau ketergantungan dengan pemberontakan. Akhirnya ketakutan naluriah bahkan dapat menimbulkan solusi defensive yang tidak sehat – misalnya, remaja menarik diri ke dalam dirinya, yang dapat menimbulkan gagasan yang berlebihan atau seperti dikejar-kejar – atau regresi dapat terjadi. Jadi dari perspektif Anna Freud, adanya sejumlah mekanisme pertahanan penting bagi remaja dalam menangani konflik.

Remaja menurut Erikson

Menurut Freud dan Anna Freud (Crain, 2007) masa remaja merupakan tahap penuh gejolak karena perubahan fisiologis yang pesat yang dialami pada masa ini. dorongan-dorongan seksual dan agresi mengancam untuk menaklukkan ego. Zona genital dipengaruhi oleh energi seksual yang kuat sehingga membuat masa remaja dipenuhi oleh fantasi-fantasi odipal. Remaja yang sulit menghadapi periode ini biasanya langsung mendekatkan diri dengan orangtuanya.

Erikson percaya bahwa peningkatan energi-energi ini sangat mengganggu remaja. Namun Erikson juga melihat bahwa persoalan ini hanya sebagian dari persoalan yang sesungguhnya. Bagi Erikson, masa remaja adalah masa membangun pemahaman baru identitas ego – sebuah perasaan tentang siapa dirinya dan apa tempatnya ditatanan sosial yang lebih besar. Krisis ini merupakan salah satu dari krisis identitas versus kebingungan peran. Pertumbuhan fisik yang sangat cepat pada masa pubertas telah menciptakan rasa kebingungan identitas. Anak muda mulai tumbuh sangat cepat dan mengubah begitu banyak cara yang sudah ditemukan sebelumnya. Mungkin karena alasan ini para remaja menghabiskan banyak waktu untuk menatap cermin dan begitu memperhatikan penampilan mereka. Disamping itu, para remaja juga dihadapkan pada masalah sosial dimana mereka takut tidak terlihat baik atau tidak memenuhi harapan orang lain. selain itu, para remaja mengalami ketakutan akan masa depan mereka. Meskipun perkembangan kognitifnya berlangsung dengan cepat, tetapi para remaja seringkali takluk oleh tawaran-tawaran dan pilihan-pilihan yang ada di hadapan mereka.

Karena remaja tidak begitu pasti dengan siapa dirinya, mereka pun dengan bersemangat mengidentifikasi diri mereka dengan geng tertentu. Mereka bisa menjadi sangat bergantung pada geng mereka, tidak toleran, dan kejam terhadap orang lain yang berbeda dengan mereka. Dalam ketergesa-gesahan para remaja menemukan identitas mereka, mereka mulai menstereotipkan diri sendiri, idela-ideal mereka, dan musuh-musuh mereka. Beberapa remaja membiarkan diri mereka terserap pada ideologi politik dan religius tertentu.

Para remaja mengalami tuntutan dimana mereka harus segera membuat keputusan dalam hidup mereka. Karena komitmen begitu sulit, terkadang mereka harus memasuki periode moratorium psikososial – periode penarikan diri utnuk menemukan diri sendiri. Beberapa remaja bisa saja cuti kuliah untuk meakukan sebuah perjalanan atau bereksperimen dengan beragam kerja sebelum mengambil keputusan akhir. Sebelum sampai pada sebuah keputusan, para remaja seringkali mengalami perasaan terisolasi – merasa waktu sedang menggulung diri mereka, tidak mampu menemukan makna di dalam aktivitas apapun, munculnya perasaan bahwa hidup berjalan begitu saja.

Referensi

Crain, W. (). Theories of development, concepts and applications, 3rd ed., New Jersey: Prentice Hall. (diterjemahkan: Santoso, Y. (2007). Teori perkembangan, konsep dan aplikasi, ed. 3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Comments

Popular Posts