Kognisi Sosial Remaja
Sosialisasi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Lev
Vygotsky (1896-1934), psikolog Rusia, menekankan pentingnya pengaruh lingkungan
sosial terhadap perkembangan kognitif seseorang. Perbedaan tampilan kognitif remaja
seringkali berkaitan dengan hal-hal yang dapat dikenali dalam lingkungannya.
Vygotsky menekankan bahwa perkembangan kognitif anak dan remaja dibantu dengan
bimbingan orang lain yang lebih terampil (Santrock, 1996). Vygotsky menekankan
pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif anak dan
remaja. Hal ini berbeda dengan pandangan Piaget yang menggambarkan bahwa anak
dan remaja sebagai ilmuwan yang hidup sendiri.
Zone of Proximal Development (ZPD)
Zona perkembangan proksimal adalah wilayah diantara tingkat perkembangan
anak dan remaja saat ini “yang ditentukan oleh kemampuan mengatasi masalah
secara mandiri” dan tingkat perkembangan yang dapat dicapai anak “melalui
bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dengan sebaya yang lebih mampu”
(Woolfolk, 2008). ZPD juga dipahami sebagai fase dimana seorang anak dapat
menguasai suatu tugas bila diberi bantuan dan dukungan yang tepat. Dalam
konteks perkembangan kognitif remaja, batas bawah ZPD adalah tingkat pemecahan
masalah yang dicapai remaja bila menyelesaikannya secara mandiri. Batas atasnya
adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima remaja dengan
bantuan pengajar yang mahir. Melalui pengajaran yang tepat dan berkesinambungan
serta latihan, remaja akan menguasai langkah-langkah yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas sasaran.
Dalam pendekatan sosialisasi kognitif, pendidikan formal hanyalah sebuah
agen budaya yang menentukan perkembangan kognitif remaja. Orangtua, teman
sebaya, masyarakat sekitar, dan orientasi teknologi adalah kekuatan lain yang
mempengaruhi perkembangan cara berpikir remaja (Santrock, 1996).
Kognisi Sosial
Dacey dan Kenny (1997) menjelaskan bahwa kognisi sosial adalah kemampuan
untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal,
yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk
memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan orang
lain. Kognisi sosial mengacu pada bagaimana seseorang memandang dan berpikir mengenai
dunia sosial mereka – orang-orang yang mereka amati dan berinteraksi dengan
mereka, hubungan dengan orang-orang tersebut, kelompok tempat mereka bergabung,
bagaimana mereka berpikir mengenai diri mereka dan orang lain (Santrock, 1996).
Pada masa remaja muncul keterampilan-keterampilan kognitif baru.
Keterampilan-keterampilan baru ini memiliki pengaruh yang besar terhadap
perubahan kognisi sosial remaja. Kemampuan berpikir secara abstrak yang mulai
muncul dan berkembang pada masa remaja dan menyatu dengan pengalaman sosial
akan menghasilkan perubahan besar dalam cara-cara remaja memahami diri mereka
sendiri dan orang lain. Salah satu bagian penting dari perubahan perkembangan
aspek kognisi sosial remaja adalah egosentrisme. Egosentrisme remaja (adolescent
egocentrism) menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja yang
terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat
besar, sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka, dan terhadap perasaan
akan keunikan pribadi mereka (Santrock, 1996).
Psikolog perkembangan David Elkind (1976) menjelaskan bahwa egosentrisme
adalah kecenderungan remaja untuk memandang dan menerima dunia (dan dirinya
sendiri) dari perspektif mereka sendiri. Egosentrisme remaja dapat dibagi atas
dua bentuk pemikiran sosial, yaitu:
1. Imaginary
audience (penonton
imajiner) menggambarkan peningkatan kesadaran remaja yang
tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat
besar terhadap diri mereka, sebesar perhatian mereka sendiri. Gejala penonton imajiner
mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian: keinginan agar
kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian
(Santrock, 1996).
2. Personal
fable (dongen
pribadi) adalah bagian egosentrisme remaja berkenaan dengan
perasaan keunikan pribadi yang dimilikinya (Santrock, 1996). Perasaan unik
pribadi remaja menjadikan mereka merasa bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
memahami isi hati mereka yang sesungguhnya. Remaja mengarang cerita tentang
diri mereka yang dipenuhi dengan fantasi. Hal ini bisa ditemukan dalam buku
harian remaja.
David Elkind (1976) yakin bahwa munculnya egosentrisme remaja disebabkan
oleh adanya cara berpikir operasional formal.
Referensi
David Elkind (1976). Child
development and education, New York: Oxford University Press
Woolfolk,
A. (2008). Educational psychology: active
learning edition, ed. X., Boston: Allyn and Bacon
Dacey, J., & Kenny, M. (1997). Adolescent
development, New York: McGraw Hill
Santrock,
J. W. (1996). Adolesence, 6th. Times
Mirror Higher Education. (Terjemahan: Kristiaji, W. C., & Sumiharti, Y.
(Eds.). (2003). Adolesence: Perkembangan Remaja, ed. 6. Jakarta: Penerbit
Erlangga).
Comments
Post a Comment