TEORI KEPRIBADIAN: ALFRED ADLER (1870-1937)

ALFRED ADLER (1870-1937)
Profil Alfred Adler 
Alfred Adler lahir di Wina dari keluarga kelas menengah, dan meninggal di Aberdeen Skotlandia saat menjadi pembicara keliling untuk menyebarkan teorinya. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Ia termotivasi oleh kematian adiknya serta kondisi kesehatan masa kecilnya yang buruk. Ia meraih gelar dokter pada tahun 1895 dari Universitas Wina. Setelah itu, ia mengambil program pascasarjana bidang ophthalmologi dan membuka praktek sebagai dokter mata. Namun akhirnya ia lebih tertarik untuk menjadi dokter umum dan psikiater.
Adler menikah dengan wanita Rusia yang sangat independen, Raissa Epstein, pada Desember 1897. Raissa adalah seorang feminis yang mengembangkan pandangan Marxist-Leninist yang cukup berbeda dengan pandangan Adler tentang kebebasan dan tanggung jawab individual. Mereka dikaruniai 4 orang anak; Alexandra, Kurt, Valentine, dan Cornelia. Pada mulanya Adler bergabung dengan Vienna Psychoanalytic Society (yang dibentuk oleh Freud) walaupun dia tidak selalu sepaham dengan teori dan pandangan Freud, terutama mengenai kecenderungan seksual dari psikoanalisis. Ia berpendapat bahwa dorongan untuk superioritas lebih sesuai sebagai motivasi dasar daripada seksualitas. Berbeda dengan Freud yang mendasarkan teorinya pada seksualitas, Adler lebih tertarik pada minat sosial. Karena sering selisih pendapat, akhirnya ia mendirikan satu organisasi Society for Individual Psychology, sebagai indikasi bahwa dirinya telah sepenuhnya keluar dari psikoanalisis. Setelah Perang Dunia I, ia melakukan eksperimen di dunia pendidikan untuk memperbaiki teorinya. Ia melakukan eksperimen di bidang pengajaran, pelatihan guru serta mendirikan klinik bimbingan anak.
Pada tahun 1935 ia menetap di Amerika Serikat di mana ia meneruskan prakteknya sebagai psikiater dan menjadi profesor psikologi medis. Di negara ini, ia juga mendapatkan kesempatan untuk mengajar Psikologi Individual di beberapa Universitas. Berbeda dengan Freud yang tidak menyukai Amerika, Adler justru mengagumi optimisme dan keterbukaan yang ditunjukkan masyarakat negara tersebut. Namun Raissa, istrinya, tidak memiliki kecintaan yang sama terhadap Amerika. Ia lebih memilih untuk tinggal di Wina sampai menjelang kematian Adler.
Tahun 1937, ia sangat aktif menjadi pembicara keliling di Belanda. Walaupun mulai merasakan nyeri dada dan disarankan oleh dokter untuk beristirahat, Adler tetap bersikeras ke Aberdeen Skotlandia dan akhirnya pada tanggal 28 Mei 1937, ia meninggal dunia akibat serangan jantung. Mendengar kabar kematian lawannya, Freud berujar dengan nada menyindir bahwa kematian Adler di Aberdeen menunjukkan bahwa karirnya tidak dikenal dan hal tersebut akibat dari penolakannya terhadap teori psikoanalisis.

Pemikiran Alfred Adler
Alfred Adler tidak begitu terkenal dibandingkan dengan Freud dan Carl Jung meskipun teorinya berpengaruh besar terhadap teoritikus-teoritikus selanjutnya seperti Harry Stack Sullivan, Karen Horney, Julian Rotter, Abraham H. Maslow, Carl Rogers, Albert Ellis, Rollo May, dan yang lainnya. Ada tiga hal yang menyebabkan hal ini, yaitu: pertama, Adler tidak mendirikan organisasi yang dijalankan dengan kuat untuk mengabadikan teorinya. Kedua, Adler bukan seorang penulis yang berbakat dan sebagain besar bukunya merupakan kumpulan bahan pengajaran Adler yang tersebar yang dikumpulkan oleh beberapa editor. Ketiga, banyak dari pandangan Adler tergabung dalam karya teoritikus selanjutnya, seperti Maslow, Rogers, dan Ellis sehingga pandangan-pandangan itu tidak lagi diasosiasikan dengan nama Adler.
Teori-terori Adler mengenai manusia disusun dengan sederhana. Bagi Adler manusia lahir dengan tubuh yang lemah dan inferior. Kondisi inferior ini menjadikan seseorang menggantungkan diri pada orang lain. Perasaan ketergantungan ini mendorong seseorang untuk menyatu dengan orang lain (minat sosial). Adler menyebutkan bahwa sifat menyatu dengan orang lain (minat sosial) adalah sifat manusia. Berikut ini adalah prinsip-prinsip utama dalam teori Adler.

Perjuangan ke arah Superioritas
Prinsip pertama dari teori Adlerian adalah kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Adler menggambarkan manusia sebagai individu yang berjuang untuk meraih kesempurnaan atau superioritas. Psikologi individual mengajarkan bahwa setiap orang memulai hidup dengan kelemahan fisik yang memunculkan perasaan inferior, yaitu perasaan yang memotivasi seseorang untuk berjuang demi meraih superioritas atau keberhasilan. Perjuangan ke arah superioritas adalah perjuangan yang bersifat bawaan. Ia adalah bagian dari hidup dan bahkan hidup itu sendiri. Dari lahir sampai mati perjuangan ke arah superioritas itu membawa setiap individu dari satu tahap perkembangan ke tahap-tahap perkembangan berikutnya yang lebih tinggi. Adler menyebutkan bahwa dorongan ke arah superioritas itu dapat menjelma dengan bermacam-macam cara yang berbeda-beda, dan setiap individu memiliki cara masing-masing untuk mencapai kesempurnaan. Individu yang tidak sehat secara psikologis (neurotik) akan berjuang untuk superiotitas pribadi (memperjuangkan tujuan-tujuan egoistik), sedangkan individu yang sehat secara psikologis (normal) mencari keberhasilan untuk semua umat manusia (bersifat sosial).
Dalam pemikiran Adler, terdapat tiga tahap tentang tujuan akhir (final) manusia, yakni: menjadi agresif (agresi), menjadi berkuasa (masculine protest), dan menjadi superior (berjuang untuk meraih superioritas). Superioritas yang dimaksudkan oleh Adler adalah perjuangan ke arah kesempurnaan, itu merupakan “dorongan kuat ke atas”.

Tujuan Akhir (final destination)
Menurut Adler, manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, entah itu superioritas pribadi atau keberhasilan untuk semua umat manusia. Tujuan akhir ini semata-mata bersifat fiktif, yang tidak ada bentuk objektifnya. Namun demikian, tujuan akhir memiliki makna yang besar karena mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku dapat dipahami. Setiap individu memiliki kekuatan untuk menciptakan sebuah tujuan fiksional. Tujuan ini tidak ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Ia lebih sebagai produk dari daya kreatif (creative power), yaitu kemampuan manusia untuk secara bebas membentuk perilakunya dan menciptakan kepribadian mereka sendiri. Anak-anak yang berusia empat atau lima tahun memiliki daya kreatif yang telah terbentuk sampai pada titik di mana mereka bisa menetapkan tujuan akhir mereka. Tujuan akhir dari individu adalah mengurangi rasa sakit akibat perasaan inferior dan mengarahkan individu tersebut kepada superioritas atau keberhasilan. Di dalam prinsip ini, Adler mereduksi semua motivasi menjadi satu dorongan tunggal-berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Superioritas bukan pengkotakan sosial, kepemimpinan, atau kedudukan yang tinggi di dalam masyarakat, tetapi perjuangan ke arah kesempurnaan.

Daya juang sebagai Kompensasi
Manusia berjuang untuk meraih superioritas sebagai cara untuk menggantikan perasaan inferior. Adler percaya bahwa semua manusia yang baru lahir dikaruniai tubuh yang kecil, lemah, dan inferior. Kelemahan fisik manusia itu memicu perasaan inferior. Manusia secara terus menerus oleh kebutuhan untuk mengatasi perasaan inferior dan didorong oleh keinginan untuk menjadi sempurna. Daya juang manusia merupakan bawaan, tetapi sifat dan arahnya ditentukan oleh perasaan inferior dan tujuan untuk meraih kesempurnaan. Tanpa daya bawaan untuk menuju kesempurnaan, anak-anak tidak akan pernah merasa inferior. Akan tetapi, tanpa perasaan inferior, mereka tidak akan pernah menetapkan tujuan untuk meraih superioritas. Tujuan untuk meraih superioritas itu ditetapkan sebagai kompensasi perasaan inferior, di mana perasaan itu tidak akan muncul bila seorang anak tidak memiliki kecenderungan dasar untuk menjadi utuh.
Ketika lahir, setiap individu berpotensi memiliki daya juang, tetapi belum benar-benar memilikinya. Untuk itu, setiap individu harus mengembangkannya dengan cara masing-masing. Pada usia empat atau lima tahun, anak-anak memulai proses ini dengan menetapkan sebuah arah bagi daya juang dengan membuat sebuah tujuan, baik untuk superioritas pribadi ataupun keberhasilan social. Tujuan ini memberikan panduan untuk memotivasi, membentuk perkembangan psikologis, dan memberikannya sasaran. Tujuan bisa berbentuk apa saja dan tidak harus berbentuk gambaran yang sama dengan kelemahan individu. Misalnya seorang yang memiliki tubuh yang lemah tidak harus menjadi seorang atlet yang tegap dan kuat, tetapi ia bisa menjadi seorang seniman, aktor dan penulis.
Adler memperkenalkan dua cara utama untuk berjuang, yaitu: pertama, usaha yang secara sosial tidak produktif untuk meraih superioritas pribadi. Beberapa individu berjuang meraih superioritas dengan sedikit atau tanpa memperhatikan orang lain. Mereka memiliki tujuan yang bersifat personal dan usaha mereka ini dimotivasi sebagian besar oleh perasaan inferior yang berlebihan atau munculnya inferiority complex. Misalkan, pembunuh, pencuri dan penipu, mereka individu-individu yang berjuang untuk keuntungan pribadi. Kedua, mencakup minat sosial dan ditujukan untuk keberhasilanatau kesempurnaan setiap orang. Adler menyebutkan bahwa orang yang sehat secara psikologis (normal) adalah mereka yang dimotivasi oleh minat sosial dan keberhasilan untuk semua umat manusia . Individu-individu yang sehat memiliki kepedulian dengan tujuan-tujuan yang melebihi diri mereka, mampu untuk menolong orang lain tanpa menuntut imbalan, mampu melihat orang lain tidak sebagai lawan, tetapi sebagai manusia yang dapat diajak bekerja sama untuk kepentingan sosial. Bagi Adler, individu-individu yang normal memili pandangan bahwa kemajuan sosial lebih penting daripada kebanggan pribadi .

Persepsi subjektif
Prinsip Adler yang kedua adalah persepsi subjektif seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka. Manusia berjuang meraih kesempurnaan untuk menggantikan perasaan inferior. Namun, sikap juang manusia tidak ditentuk oleh kenyataan, namun oleh persepsi subjektif manusia akan kenyataan, yaitu oleh fiksi manusia, atau harapan masa depan.

Finalisme Fiktif
Adler sangat dipengaruhi oleh filsafat Hans Vaihinger, dimana gagasannya cukup memikat banyak orang. Vaihinger meilihat bahwa manusia hidup dengan banyak cita-cita yang semata-mata bersifat fiktif, yang tidak mempunyai padanannya di dalam kenyataan. Pandangan Vaihinger ini digunakan oleh Adler untuk menangkis pemikiran Freud yang menekankan bahwa faktor-faktor konstitusi dan pengalaman-pengalaman selama awal masa kanak-kanak sangat menentukan kepribadian seseorang. Adler menyebutkan bahwa manusia itu lebih dimotivasikan oleh harapan-harapannya tentang masa depan daripada pengalaman masa lampaunya. Fiksi manusia yang paling penting adalah tujuan meraih superioritas atau keberhasilan, tujuan yang diciptakan di awal kehidupan. Tujuan akhir yang fiksional ini menuntun gaya hidup manusia. Contoh sebuah fiksi adalah “pria lebih superior dibandingkan wanita”. Meskipun pernyataan ini fiksi, tetapi banyak orang bertindak seolah-olah hal ini nyata. Contoh lain, manusia yang percaya akan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi imbalan kepada yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Kepercayaan ini menuntun kehidupan banyak orang dan membantu mereka dalam pembentukan tindakan-tindakan mereka .
Adler melihat motivasi sebagai persoalan bagaimana melangkah ke masa depan. Manusia diarahkan menuju tujuan, harapan dan cita-cita. Hal inilah yang disebut Adler sebagai Teologi[7]. Teologi adalah penjelasan tentang perilaku dalam pengertian tujuan dan sasaran akhir. Hal ini berlawan dengan kausalitas, yang melihat perilaku sebagai hal yang tumbuh dari sebab spesifik. Teologi biasanya berorientasi kapada masa depan, sedangkan kausalitas berhubungan dengan pengalaman masa lalu yang menghasilkan pengaruh di masa sekarang. Adler menggunakan pendekatan teologis di mana manusia dimotivasi oleh persepsi mereka pada saat ini tentang masa depan.

Kesatuan dan self-consistency dari kepribadian
Prinsip ketiga dari Adler adalah kepribadian itu menyatu dan self-consistent. Adler yakin bahwa setiap individu itu unik dan tak terpisahkan. Psikolologi individual menekankan pada kesatuan fundamental dari kepribadian dan gagsan bahwa perilaku yang tidak konsisten tidak ada.  Pikiran, perasaan, dan tindakan manusia mengarah pada satu sasaran dan berfungsi untuk mencapai satu tujuan. Bila seseorang bersikap tidak teratur atau tidak bisa diprediksi, hal ini akan memaksa orang lain menjadi defensif dan waspada terhadap tindakan yang tidak terduga. Meskipun perilaku seseorang itu terlihat tidak konsisten, namun bila dilihat dari perspektif tujuan akhir perilaku, hal itu terlihat baik. Disamping itu, ada kemungkinan bahwa perilaku yang mereka tunjukkan itu merupakan usaha-usaha yang tidak disadari untuk mengecoh dan menempatkan orang lain lebih rendah dari dirinya.

Bahasa Organ
Bahasa organ digunakan sebagai cara mengenali di mana keseluruhan diri manusia berfungsi dengan kesatuan dan self-consistency. Adler yakin bahwa keseluruhan diri manusia berjuang dengan cara yang self-consistent demi satu tujuan. Setiap tindakan dan fungsi masing-masing hanya dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan tersebut. Gangguan terhadap satu bagian tubuh seseorang akan berpengaruh terhadap keseluruhan diri seseorang. Kelemahan satu organ tubuh seseorang memperlihatkan arah dari tujuan seseorang, suatu kondisi yang dikenal sebagai bahasa organ (organ dialect). Menurut Adler, organ-organ tubuh berbicara dengan sebuah bahasa yang biasanya lebih ekspresif dan mengungkapkan pikiran seseorang dengan lebih jelas daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Contoh bahasa organ: seorang pria yang menderita rheumatoid arthritis di tangannya. Sendinya yang kaku dan cacat menunjukkan gaya hidup pria tersebut. Keberadaan tubuh pria tersebut dapat menarik simpati dari orang lain. Contoh lain, kasus seorang anak laki-laki yang sangat patuh yang mengompol dimalam hari memberitahukan pesan bahwa ia tidak ingin mematuhi harapan orang tuanya. Anak laki-laki tidak mengungkapkan hasratnya dengan kata-kata, tetapi melalui kandung kemihnya.

Kesadaran dan Ketidaksadaran
Adler mendefinisikan ketidaksadaran sebagai bagian dari tujuan yang tidak dirumuskan dengan jelas atau tidak dipahami secara utuh oleh seseorang. Adler menghindari dikotomi antara ketidaksadaran dan kesadaran. Dia memandang bahwa keduanya ini bekerja sama dalam sistem yang menyatu. Pikiran-pikiran sadar adalah pikiran yang dipahami dan diperlakukan seseorang sebagai hal yang membantunya dalam usaha untuk meraih keberhasilan, sedangkan pikiran-pikiran tidak sadar adalah pikiran yang tidak membantu usaha tersebut.

Minat Sosial
   Prinsip Adler yang keempat adalah nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial.
Adler sebagai seorang pembela keadilan sosial dan penyokong demokrasi sosial memperluas konsepsinya tentang manusia dengan memasukkan faktor minat sosial (Gemeinschaftsgefuhl). Minat sosial adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia; menyatakan secara tidak langsuang keanggotaan dalam komunitas sosial seluruh manusia. Individu dengan minat sosial yang berkembang dengan baik tidak berjuang untuk superioritas pribadi, melainkan untuk kesempurnaan semua manusia. Minat sosial dapat didefinisikan sebagai sikap keterikatan dengan umat manusia secara umum maupun sebagai empati untuk setiap anggota masyarakat. Hal ini termanifestasi dalam bentuk kerja sama dengan orang lain untuk kemajuan sosial daripada keuntungan pribadi.
Adler menyebutkan bahwa minat sosial bukan sekedar bawaan sejak lahir dan bukan pula diperoleh hanya dengan cara mempelajarinya, melainkan kombinasi dari keduanya. Minat sosial didasaran pada sifat-sifat bawaan dan dikembangkan lebih lanjut agar tetap bertahan. Adler yakin bahwa minat sosial bersifat bawaan; bahwa manusia adalah makhluk sosial menurut kodratnya, bukan karena kebiasaan belaka. Akan tetapi sama seperti setiap bakat kodrati lainnya, kecenderungan yang dibawa sejak lahir ini tidak bisa muncul secara spontan, tetapi harus ditumbuhkan lewat bimbingan dan latihan.
Minat sosial berakar dari potensi dalam setiap orang. Ia bersumber dari hubungan ibu dan anak selama bulan-bulan pertama masa kanak-kanak. Untuk itulah, hubungan anak dengan orang tuanya, ibu dan ayah, sangat penting dalam membentuk minat sosial si anak. Minat sosial adalah ukuran Adler untuk mengukur kesehatan psikologis sehingga hal ini dianggap sebagai kriteria tunggal dari nilai manusia. Bagi Adler, minat sosial adalah satu-satunya standar untuk menilai seberapa berharganya seseorang. Sebagai barometer kenormalan, minat sosial adalah standar yang digunakan untuk menentukan seberapa bermanfaatnya hidup seseorang. Orang yang memiliki minat sosial, ia dianggap dewasa secara psikologis. Minat sosial berbeda dengan derma atau sifat tidak mementingkan diri sendiri. Tindakan kedermawanan dan kebaikan muu tidak mungkin atau tidak mungkin dimotivasi oleh Gemenschaftsgefuhl. Misalnya seorang wanita yang kaya memberikan uang secara teratur kepada orang miskin, bukan karena ia merasa menjadi satu dengan mereka, tetapi justru sebaliknya. Tindakannya itu bisa jadi pembuktian atas superioritasnya.

Gaya hidup (style of life)
Gaya hidup adalah prinsip Adler yang kelima. Struktur kepribadian yang self-consistent berkembang menjadi gaya hidup seseorang. Adler menggunakan istilah gaya hidup (style of life) untuk menunjukkan selera hidup seseorang. Gaya hidup ini mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup adalah hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki oleh seseorang. Gaya hidup terbentuk sangat dini pada masa kanak-kanak, pada usia 4 atau 5 tahun, dan sejak itu pengalaman-pengalaman diasimilasikan dan digunakan seturut gaya hidup. Semua tindakan manusia berputar disekitar gaya hidupnya yang sudah terbentuk itu. Sikap, perasaan, apresiasi seseorang terbentuk dan menjadi mekanik pada usia dini, dan sejak itu praktis gaya hidup tidak bias berubah. Seseorang mungkin menemukan cara-cara baru untuk mengungkapkan gaya hidup yang unik, tetapi cara-cara tersebut hanya merupakan contoh-contoh konkret dan khusus dari gaya hidup yang sama yang terbentuk pada usia dini.
Gaya hidup manusia sebagian besar ditentukan oleh inferiortas-inferioritas khusus. Gaya hidup merupakan kompensasi dari suatu inferioritas khusus. Setiap individu mempunyai tujuan yang sama, yakni superioritas, namun cara untuk mengejar tujuan ini tak terhingga jumlahnya. Individu yang satu berusaha menjadi superior dengan mengembangkan inteleknya, yang lain mengerahkan seluruh usahanya untuk mencapai kesempurnaan otot. Misalnya, seorang cendikiawan berbeda gaya hidupnya dengan seorang olahragawan.

Daya Kreatif (creative power)
Prinsip ini adalah prinsip yang terakhir dari teori Adlerian. Adler percaya bahwa gaya hidup manusia dibentuk oleh daya kreatif yang ada di dalam dirinya. Manusia memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidup nya masing-masing. Manusia itu lebih dari sekedar produk keturunan dan lingkungan, tetapi ia memiliki creative power yang memampukan mereka untuk mengendalikan kehidupan mereka, bertanggung jawab atas tujuan akhir mereka, menentukan cara yang mereka pakai untuk meraih tujuan tersebut dan berperan dalam membentuk minat sosial mereka. Daya kreatif adalah ragi yang mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan fakta-fakta ini menjadi kepribadian yang bersifat subjektf, dinamik, menyatu, personal dan unik. Daya kreatif ini memberikan arti pada kehidupan manusia. Ia menciptakan tujuan dan sarana untuk mencapainya. Daya kreatif sulit digambarkan, tetapi kita dapat melihat pengaruh-pengaruhnya. Daya kreatif merupakan jembatan antara stimulus-stimulus yang menerpa seseorang dan respon-respon yang diberikan oleh yang bersangkutan terhadap stimulus-stimulus itu.
Setiap manusia memiliki dan menggunakan faktor keturunan dan lingkungan sebagai “bata” dan “palu” untuk membangun kepribadian, namun rancangan arsitekturalnya menggambarkan gaya hidup seseorang. Jadi yang terpenting adalah bukan apa yang ada di dalam diri seseorang, tetapi bagaimana seseorang itu bias menggunakan semua hal yang ada di dalam dirinya. Oleh sebab itu, manusia adalah arsitek untuk kehidupannya sendiri, dan manusia dapat membangun gaya hidup yang berguna atau tidak berguna. Adler memberikan analogi yang menarik, yang ia sebut sebagai “hukum ambang pintu rendah” (the law of the low doorway). Jika anda mencoba melalui ambang pintu stinggi empat kaki, maka anda memiliki dua pilihan. Pertama, anda bisa menggunakan kemampuan berpikir kreatif anda untuk membungkuk ketika mendekati pintu masuk sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik. Kedua, anda membiarkan kepala anda terbentur dan anda terjatuh ke belakang, maka anda harus menyelesaikan masalah dengan benar supaya anda tidak terbentur dan terjatuh lagi.

Masculine Protest
Adler memiliki keyakinan bahwa kehidupan psikis wanita pada dasarnya sama dengan pria. Masyarakat yang didominasi oleh pria bukan sesuatu yang alamiah melainkan lebih merupakan hasil artifisial dari perkembangan sejarah. Budaya dan kehidupan sosial memberikan pengaruh terhadap pria dan wanita dalam melebih-lebihkan pentingnya kejantanan, suatu kondisi yang disebut sebagai masculine protest. Sebagaian besar masyarakat menempatkan nilai dan kondisi inferior pada keberadaan seorang wanita. Sementara anak laki-laki, sejak kecil diajarkan untuk menjadi seorang yang maskulin, yaitu seorang yang berani, kuat dan dominan. Lambang keberhasilan untuk laki-laki adalah menang, berkuasa, dan berada di atas. Berhadapan dengan situasi yang semacam ini, beberapa wanita melakukan perlawan terhadap peran feminin mereka dengan cara membentuk orientasi maskulin dan menjadi asertif dan kompetitif.

Adler, Freud, dan Masculine Protest
Freud percaya bahwa anatomi adalah takdir, wanita sebagai wilayah misterius. Oleh sebab itu, di akhir hidupnya, Freud masih bertanya “apa yang diinginkan wanita?”. Adler memiliki pemikiran yang berbeda dengan Freud, ia mengasumsikan bahwa wanita-karena mereka memiliki kebutuhan fisiologi dan psikologis yang sama seperti pria-menginginkan hal-hal yang kurang lebih sama dengan pria. Hal ini dapat dlihat dari situasi di dalam keluarga Adler di mana ia memiliki seorang isteri (Raissa Epstein) yang independen, yang membenci peran domestik tradisional dan lebih memilih karier aktif di bidang politik. Berbeda dengan isteri Freud, Martha Bernays, yang patuh, mengabdi pada anak-anak dan suaminya, dan tidak menaruh minat terhadap pekerjaan suaminya.

Penelitian Alfred Adler
Observasi-observasi empiris yang dilakukan Adler sebagian besar berada di lingkungan terapeutik dan paling banyak berupa rekonstruksi-rekonstruksi ingatan masa kecil. Berikut adalah beberapa contoh penelitian yang dilakukan oleh Adler.

Konstelasi Keluarga
Ketika melakukan terapi terhadap pasien, Adler selalu bertanya tentang konstelasi keluarga mereka, yakni urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, dan jarak umur diantara mereka. Adler mengamati ada hubungan antara urutan kelahiran dan kepribadian anak, namun persepsi anak terhadap situasi dimana mereka dilahirkan berperan lebih penting daripada sekedar nomor urut.

Ingatan masa kecil
Untuk memperoleh pemahaman terhadap kepribadian seseorang, Adler selalu meminta mereka untuk mengungkapkan ingatan masa kecil/masa awal (early recollections-Ers). Walaupun Adler berpendapat bahwa ingatan yang diungkapkan kembali akan memberikan petunjuk untuk memahami kepribadian pasien, ia tidak menganggap bahwa ingatan-ingatan ini membawa dampak kausal. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa pengalaman masa kecil tidak menentukan gaya hidup seseorang, melainkan sebaliknya dimana ingatan pengalaman masa kecil sesungguhnya dibentuk oleh gaya hidup yang dijalani seseorang.

Pengalaman masa kanak-kanak
Adler sangat tertarik mempelajari pengaruh masa kanak-kanak terhadap perkembangan masa mendatang. Pola asuh orangtua sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian seorang anak. Ia menemukan 3 faktor penting penyebab ketidakmampuan menyesuaikan diri:
·     Anak-anak yang memiliki inferioritas-inferioritas
Anak-anak ini memiliki kelemahan fisik baik dari faktor bawaan maupun akibat dari kecelakaan. Namun apabila orang tua memahami dan mendorong mereka untuk bisa melakukan kompensasi terhadap inferioritasnya, maka kelemahan tersebut bisa menjadi kekuatan. Banyak tokoh-tokoh dunia yang melakukan kompensasi terhadap inferioritasnya sehingga mereka tampil superioritas, seperti Beethhoven, Mozart, Bill Gates, Einstein, Hellen Keller, dsb. Namun ketika inferioritas ini berlebihan dan mereka tidak bisa melakukan kompensasi, maka anak-anak tersebut sulit menyesuaikan diri.
·     Anak-anak yang dimanjakan
Anak-anak yang dimanjakan tidak memiliki kepekaan sosial. Mereka menjadi pribadi yang mengharapkan masyarakat menyesuaikan diri dengan keinginan-keinginan yang berpusat pada diri mereka sendiri. Orang-orang yang manja memiliki minat sosial yang lemah dan memiliki hasrat yang kuat untuk terus mempertahankan hubungan yang bersifat parasit seperti hubungan mereka sebelumnya dengan orangtua. Karakteristik yang menonjol dari mereka adalah putus asa yang berlebihan, kebimbangan, oversensitif, tidak sabar, emosi yang berlebihan, dan kecemasan. Sebenarnya anak-anak yang dimanjakan semakin memiliki inferioritas yang tinggi yang menyebabkan mereka semakin kesulitan menyesuaikan diri.
·     Anak-anak yang diabaikan
    Anak-anak yang merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan akan membentuk gaya hidup yang terabaikan. Anak-anak yang disiksa dan diperlakukan tidak baik memiliki minat sosial rendah dan cenderung menciptakan gaya hidup yang terabaikan. Mereka memiliki rasa percaya diri yang rendah, tidak mudah percaya terhadap orang lain, dan sulit bekerjasama. Dalam kasus yang lebih berat, mereka akan menganggap masyarakat sebagai musuh dan gaya hidup mereka dikuasai oleh kebutuhan untuk balas dendam.



Sumber
  • Handriatno (Penj.), 2010. Teori Kepribadian, Salemba Humanika, Jakarta
  • Inyak Ridwan Muzir, 2010. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda bersama Psikolog Dunia, Prismasophie.
  • Supratiknya, A. (Ed.), 2009. Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Kanisius, Yogyakarta 

Comments

Popular Posts