TEKNIK KONSELING: ROLE PLAY
TEKNIK ROLE PLAY
Role play (bermain peran) adalah sebuah teknik yang digunakan oleh konselor dari beragam orientasi teoritis untuk klien-klien yang perlu mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dirinya sendiri, atau melakukan perubahan dalam dirinya sendiri (James & Gilliland, 2003). Hackney dan Cormier (dalam Erford, 2016) mendeskripsikan empat aspek yang lazim ditemukan pada role play. Pada kebanyakan role play, seseorang memainkan perannya sendiri, peran orang lain, sejumlah keadaan diseputar sebuah situasi, atau reaksi-reaksinya sendiri. Kemudian individu tersebut menerima feedback dari konselor professional atau dari para anggota kelompok jika role play dilakukan dalam konteks kerja-kelompok. Perlu diketahui bahwa role play terjadi pada saat ini, bukan di masa lalu atau di masa mendatang. Teknik role play lazim dimulai dengan adegan-adegan yang lebih mudah untuk diperankan dan secara progresif ditingkatkan ke adegan-adegan yang lebih kompleks.
Cara Mengimplementasikan Teknik Role play
Pertama, harus memahami keempat elemen dan ketiga fase yang ditemukan dalam role play (Erford, 2016). Berikut ini adalah keempat elemen tersebut:
- The encounter (pertemuan): mampu memahami perspektif orang lain. Elemen pertama ini perlu dalam role play karena klien terkadang akan berganti peran (memainkan peran orang lain yang terlibat dalam situasinya).
- The stage (panggung) adalah ruangan dengan alat-alat bantu sederhana yang dapat memberikan pengalaman realistis.
- The soliloquy (solilokui/monolog) adalah istilah lain yang harus diketahui oleh konselor professional. Solilokui adalah sebuah pembicaraan dimana klien mengungkapkan pikiran-pikiran pribadi dan perasaan-perasaan yang terkait dengannya. Konselor professional dapat belajar lebih banyak tentang kliennya, termasuk keyakinan irasional, melalui solilokui.
- Doubling (penggandaan), menghasilkan kesadaran yang meningkat pada klien. Doubling terjadi ketika konselor professional atau seseorang anggota kelompok lain berdiri di belakang klien, sementara itu klien memainkan sebuah adegan. Kemudian konselor mengunkapkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tak-terungkap klien.
Sementara untuk fase
dalam role play terdiri dari tiga
fase, yaitu:
- Warm-up (pemanasan): tujuannya adalah untuk mendorong klien terhubung dengan situasinya, termasuk emosi-emosi yang akan diperankannya. Kegiatan warm-up dapat dilakukan secara mental atau fisik.
- Action (tindakan): dalam fase ini, konselor professional membantu klien dalam menetapkan adegan dengan menelaah detail-detail situasinya. Konselor profesional juga harus membimbing klien dari realitas ke situasi yang dibayangkan lalu kembali lagi ke realitas.
- Sharing and analysis (berbagi dan analisis): dalam fase ini, konselor professional dan para anggota kelompok (bila dilakukan dalam ranah kelompok) berbagi apa yang mereka alami selama role play. Analisis sering kali terjadi dalam sesi tindak lanjut karena klien pada umumnya terbangkitkan secara emosional di akhir role play. Dalam sesi ini, klien berkesempatan untuk memproses informasi dan menerima feedback.
Young (dalam Erford, 2016) menyediakan proses tujuh-langkah untuk diikuti konselor profesional ketika mengimplementasikan teknik role play dengan seorang klien, yaitu:
Warm-up: konselor profesional menjelaskan tekniknya kepada klien, dan klien memberikan deskripsi terperinci tentang perilaku, sikap, atau performa yang ingin diubah. Klien seharusnya didorong untuk mendiskusikan keengganan apapun yang dimilikinya mengenai teknik role play.
Scene setting: konselor profesional membantu klien dalam menata panggungnya. Bila perlu, perabotan bisa ditata ulang.
Selecting role: klien menyebutkan dan mendeskripsikan significant others (orang-orang terdekat/penting) yang terlibat di dalam adegan.
Enactment: klien memerankan perilaku sasaran/target. Bila klien mengalami kesulitan untuk memerankannya, konselor profesional dapat mencontohkan perilaku tersebut. Klien seharusnya memulai adegan dari yang paling mudah dan selanjutnya ke adegan-adegan yang paling sulit. Selama langkah ini, konselor profesional dapat menyela klien untuk menunjukkan kepada klien bahwa apa yang dilakukannya memberikan kontribusi pada gangguan yang dialaminya.
Reenactment: klien berulang-ulang mempraktikkan perilaku sasaran/ditargetkan dalam dan di lauar sesi-sesi konseling sampai ia dan konselor profesional yakin bahwa tujuannya telah tercapai.
Follow-up: klien memberi tahu konselor profesional tentang hasil-hasil dan kemajuan latihannya.
Proses lima langkah alternatif untuk mengimplementasikan teknik role play, yaitu:
- Menetapkan perilaku yang akan dipelajari
- Menentukan konteks atau lingkungan untuk sebuah kejadian tertentu
- Mulai dengan adegan-adegan kecil, setelah itu ke adegan-adegan yang lebih kompleks
- Di dalam sesi, klien dilibatkan dalam role play dengan risiko minim, kemudian ke situasi-situasi yang melibatkan risiko yang lebih tinggi.
- Menerapkan role play di dalam situasi-situasi kehidupan nyata.
Catatan: membuat rekaman video role play bisa sangat membantu dalam menganalisis kekuatan-kekuatan dan pergulatan-pergulatan yang dialami klien dalam perannya.
Variasi-variasi Teknik Role Play
Terdapat beberapa variasi dari teknik role play (Erford, 2016).
- Behavioral rehearsal, yaitu salah satu variasi paling lazim dari role play. Ketika klien melakukan perilaku target, ia diberi penguatan (reinforcement) dan reward. Penguatan dan hadiah tersebut datang dari konselor professional dan kemudian dari diri klien berupa pujian kepada dirinya.
- Mirror technique (teknik cermin) dalam terapi kelompok. Young (dalam Erford, 2016) mendeskripsikan bahwa dalam versi ini, anggota yang sedang memerankan adegan mengambil tempat duduk tepat ketika perilaku kritis terjadi. Anggota kelompok lain mengambil tempat anggota pertama, memerankan perilaku atau respon penampil aslinya. Sebuah respons baru dapat didiskusikan dan penampil asli kemudian dapat mempraktikkannya.
- Screenwriting (menulis naskah film). Shepard (dalam Erford, 2016) mendeskripsikan variasi lain dari teknik role play yang digunakan ketika melatih konselor-konselor pemula. Mereka diminta bermain peran dengan rekannya untuk mendapatkan pengalaman. Shepard mengajari konselor pemula bermain peran dengan menggunakan teknik screenwriting. Pertama menciptakan seorang tokoh. Para konselor pemula mendeskripsikan ciri-ciri umum tokoh itu, termasuk nama, umur, etnisitas, profesi, status hubungan, dan keluarga. Menciptakan back story (kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, yang membantu mewujudkan kejadian yang digambarkan dalam film/cerita), yang memasukkan riwayat pribadi dan pengaruh-pengaruh kunci pada kehidupan seorang tokoh. Impian, khayalan, tujuan, krisis, keinginan sadar dan tidak sadar, serta pengaruh masyarakat pada tokoh tersebut juga perlu dipertimbangkan. Bagian penting lain dari back story adalah memutuskan seperti apa kehidupan keluarga sang tokoh selama masa pertumbuhannya dulu. Presenting problem (masalah yang membuat klien mencari konseling) perlu realistis dan paling tidak memiliki salah satu dari manifestasi berikut: afektif, kognitif, somatik, atau perilaku. Setelah contoh dibuat di kelas, para konselor menciptakan tokohnya sendiri dengan menggunakan model ini.
Kegunaan dan Evaluasi Teknik Role Play
- Role play (bermain peran) biasanya digunakan dengan klien-klien yang ingin mengubah sesuatu tentang dirinya sendiri. Teknik role play efektif untuk menangani individu, kelompok dan keluarga (Erford, 2016). Misalnya bermain peran tipe keluarga tertentu memungkinkan pengakuan akan masalah-masalah yang sama pada keluarga-keluarga yang memiliki struktur yang sama. Memungkinkan anggota keluarga mengembangkan dan memperluas pemahaman mereka mengenai berbagai emosi, dilema, dinamika, dan keanekaragaman keluarga.
- Melalui role play, klien dapat mempelajari keterampilan-keterampilan baru, mengeksplorasi berbagai macam perilaku, dan mengamati bagaimana perilaku-perilaku itu mempengaruhi orang lain. Bermain peran adalah sebuah teknik yang berguna ketika menangani remaja (Erford, 2016). Remaja dapat belajar lebih banyak tentang keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut dan dapat mencapai pemahaman lebih jauh tentang keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh orang lain.
- Role play memiliki banyak keuntungan untuk perkembangan kognitif, emosi, sosial dan Bahasa. Role play memungkinkan individu untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi keberhasilan penyesuaian kultural mereka. Selain itu, role play dapat membantu meningkatkan keterampilan sosial anak, mendorong tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan meningkatkan keterampilan mendengarkan dan asertivitas yang lebih baik (Erford, 2016). Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengajarkan empati kepada anak-anak melalui cara memperkenalkan berbagai dilema moral kepada mereka. Dengan demikian, anak-anak mulai mampu memahami perspektif yang berbeda dengan perspektif mereka. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat dilaksanakan konselor, guru dan orang tua terkait dengan role play mengenai peningkatan empati:
Konselor, guru dan orang tua perlu mengamati anak/remaja dan mengevaluasi tingkat perkembangan moral mereka. Memilih cerita yang sesuai dengan topik dimana cerita itu memuat masalah yang jelas. Kemudian mendeskripsikan latar belakang cerita dan memastikan bahwa anak-anak/remaja memahami istilah-istilah yang ada dalam cerita tersebut. Selama cerita dibacakan dan menyuguhkan dilema moral, konselor, guru, orang tua bisa memerintahkan anak-anak/remaja memainkan berbagai macam peran dalam cerita. Kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk memastikan bahwa anak-anak/remaja memahami situasi dan konfliknya. Anak-anak atau remaja bekerja dalam kelompok dan mendiskusikan dilema moralnya dan memainkan sisi-sisi yang berbeda. Jika diperlukan, orang tua, guru dan konselor dapat menambahkan detai-detail pada cerita yang dapat mengubah pendapat mereka. Untuk mendorong anak-anak/remaja memikirkan tentang dilema moral itu, orang tua, guru, konselor dapat memerintahkan mereka untuk menciptakan akhir cerita yang berbeda-beda. Dengan mencatat respon-respon anak-anak/remaja, orang tua, guru, konselor dapat melihat perkembangan kemampuan empati maupun kemampuan mengambil keputusan mereka.
Meskipun role play dianggap sebagai teknik yang efektif, namun terdapat beberapa kendala di dalam prosesnya. Misalnya, klien kadang-kadang mengalami demam panggung dan tidak mau memainkan skenarionya. Oleh karena itu, konselor profesional perlu memastikan bahwa mereka memungkinkan untuk mengendalikan arah bermain-perannya. Terkadang emosi yang diekspresikan begitu kuat sehingga membuat klien dan konselor merasa tidak nyaman. Oleh sebab itu, bermain peran tidak digunakan pada klien yang belum memahami masalahnya dengan jelas (Erford, 2016).
Referensi
Erford, B. T. (2010). 35 techniques every day
counselor should know, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Erford, B. T. (2015). 40 techniques every day
counselor should know, 2nd Ed., Pearson Education, Inc. Soetjipto,
H. P., & Soetjipto, S. M. (terj). (2016). 40 teknik yang harus diketahui
setiap konselor, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Comments
Post a Comment