PERKEMBANGAN HUBUNGAN REMAJA
Perkembangan
Hubungan Remaja dengan Orang Tua
Perubahan fisik, kognitif dan sosial yang dialami
seseorang selama masa remaja membawa pengaruh besar terhadap relasi remaja
dengan orang tua (Santrock, 1996). Ciri yang menonjol dari seorang remaja yang
mempengaruhi hubungannya dengan orang tua adalah perjuangannya untuk memperoleh
otonomi. Pada masa remaja, individu menghabiskan lebih banyak waktunya dengan
dunia yang lebih luas, sementara waktu dengan orang tua lebih sedikit. Selama membangun
relasi dengan dunia luar, seorang remaja berhadapan dengan berbagai macam
nilai-nilai dimana nilai-nilai ini terkadang tidak sejalan dengan nilai-nilai
yang berasal dari orang tua. Seiring dengan perkembangan kognitif individu
selama masa remaja, seorang remaja akan melakukan pemeriksaan terhadap
nilai-nilai yang diperoleh di dalam keluarga. Hal ini membuat remaja mulai mempertanyakan
dan menantang pandangan-pandangan orang tua serta mengembangkan ide-ide mereka
sendiri (Desmita, 2013). Remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai individu
yang serba tau. Namun secara optimal, remaja mengembangkan pandangan-pandangan
yang lebih matang dan realistis dari orang tua mereka.
Perkembangan otonomi remaja dipengaruhi oleh situasi
keluarga. Otonomi remaja yang baik berkembang dari hubungan orang tua yang
positif dan suportif. Hubungan ini memungkin remaja untuk mengungkapkan
perasaan-perasaan yang positif dan negatif. Hal ini akan berdampak pada
perkembangan kompetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab (Desmita,
2013). Lamborn dan Steinberg (1993) menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk
mendapatkan otonomi tampaknya berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan
keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan kesempatan kepada remaja
untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung
secara emosional pada orangtuanya, terlihat kurang kompeten, kurang percaya
diri, kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang
berhasil mencapai kebebasan emosional (Decay & Kenny, 1997).
Peran keterikatan yang aman (secure attachment) antara
orang tua dengan remaja dapat berpengaruh terhadap kompetensi dan kesejahteraan
sosial remaja, seperti tampak pada ciri-ciri: harga diri, penyesuaian
emosional, dan kesehatan fisik. Remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan
harmonis dengan orang tua mereka, akan memiliki harga diri dan kesejahteraan
emosianal yang lebih baik. Sementara ketidakdekatan atau ketidaklekatan
(detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan
akan penolakan oleh orang tua, perasaan rendah, daya tarik sosial dan romantis
yang dimiliki (Santrock, 1996).
Perkembangan
Hubungan Remaja dengan Teman Sebaya (Peer
group)
Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan
gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Para remaja
menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk berhubungan atau bergaul dengan
teman-teman sebaya mereka. Hubungan peer group ini lebih didasarkan pada
hubungan persahabatan. Bloss (1962) menjelaskan bahwa pembentukan persahabatan
erat hubungannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang
berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts
(phallic à
phallus: alat kelamin laki-laki/penis). Erikson (1968) memandang tren
perkembangan ini dari perspektif normative-life-crisis, dimana teman memberikan
feedback dan informasi yang konstruktif tentang self-definition dan penerimaan
komitmen.
Hubungan teman sebaya sangat penting bagi perkembangan
kehidupan sosial remaja. Piaget dan Sullivan menegaskan bahwa melalui hubungan
teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang
simetris. Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui
peristiwa pertentangan dengan teman sebaya. Selain itu, mereka juga mempelajari
secara aktif kepentingan-kepentingan dan perspektif teman sebaya dalam rangka
memuluskan integrasi dirinya dalam aktivitas teman sebaya yang berkelanjutan
(Desmita, 2013). Hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan
penyesuaian sosial yang positif (Santrock, 1998). Kelly dan Hansen (1987)
menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya:
1. Mengontrol
impuls-impuls negatif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar
bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara lain selain
dengan tindakan agresi langsung.
2. Memperoleh
dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman-teman dan
kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan
tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang diperoleh remaja dari teman-teman
sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya ketergantungan remaja pada
dorongan keluarga mereka.
3. Meningkatkan
keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran, dan
belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih
matang. Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar
mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan serta mengembangkan kemampuan
mereka memecahkan masalah.
4. Mengembangkan
sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin. Sikap-sikap
seksual dan tingkah laku peran jenis kelamin terutama dibentuk melalui
interaksi dengan teman sebaya. Remaja belajar mengenai tingkah laku dan sikap-sikap
yang mereka asosiasikan dengan menjadi laki-laki dan perempuan muda.
5. Memperkuat
penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa mengajarkan kepada
anak-anak mereka tentang apa yang benar dan yang salah. Dalam kelompok teman
sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan atas diri mereka sendiri. Remaja
mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan yang dimiliki oleh teman sebaya,
serta memutuskan mana yang benar. Proses evaluasi ini dapat membantu remaja
mengembangkan kemampuan penalaran moral mereka.
6. Meningkatkan
harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah besar
teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang dirinya.
Pengaruh negatif teman sebaya: remaja yang ditolak
atau diabaikan oleh teman sebaya akan menyebabkan munculnya rasa kesepian atau
permusuhan, dihubungkan juga dengan kesehatan mental dan problem kejahatan.
Budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan yang merusak
nilai-nilai dan control orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya dapat
memperkenalkan remaja pada alkohol, obata-obatan (narkoba), kenakalan, dan
berbagai bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai maladaptive
(Santrock, 1998).
REFERENSI
Bloss, P., (1962). On adolescence, New York: Free Press.
Desmita. (2013). Psikologi perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Erikson, E. H., (1968). Identity youth and crisis, New York: Norton.
Kelly, J. A., & Hansen, D. J., (1987). Social interaction and adjustment.
Santrock, J. W., (1998). Child development, 8th ed. Boston: McGraw Hill Companies.
Comments
Post a Comment