Pembelajaran dengan Imagery
Pembelajaran dengan Imagery
(Irfan Roy T. Sarumpaet, M.A)
Metode dan strategi pembelajaran
sangat penting untuk keberhasilan pembelajaran itu sendiri. Kita tahu bahwa ada
begitu banyak metode dan strategi pembelajaran yang bisa kita gunakan dalam
proses pembelajaran. Kali ini dalam tulisan singkat ini, saya ingin berbagi
mengenai satu strategi yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu pembelajaran
dengan imagery.
Seperti yang kita tahu bahwa bagi sebagian orang hemisfer kiri terspesialisasi untuk mengkode informasi secara verbal, sementara hemisfer kanan mengkode informasi secara visual. Pada umumnya guru menghabiskan waktu untuk menjelaskan (berbicara) mengenai materi pembelajaran dan sedikit waktu yang dialokasikan untuk mengembangkan isyarat-isyarat visual. Proses membentuk isyarat visual ini disebut imagery, yaitu visualisasi dalam pikiran (membayangkan) mengenai suatu objek, peristiwa dan tampilan yang berkaitan dengan pembelajaran baru, serta merepresentasikan cara utama bagaimana informasi disimpan di dalam otak. Imagery berlangsung dalam dua cara: pertama adalah imaging (pencitraan), yaitu visualisasi dalam pikiran tentang suatu hal (benda atau peristiwa) yang benar-benar nyata. Kedua adalah imagining (mengkhayal/membayangkan/berimajinasi), yaitu menggambarakan suatu peristiwa yang belum terjadi, oleh sebab itu imagining tidak memiliki batas.
Imagery bisa dipahami sebagai gambaran-gambaran sederhana yang konkret dan juga pembelajaran motorik kompleks serta prosedur-prosedur multi tahap. Strategi pembelajaran ini memang kurang umum digunakan, oleh sebab itu perlu penerapan yang bertahap. Berikut ini beberapa panduan dalam penggunaan imagery sebagai sarana yang efektif dalam membantu meningkatkan pemahaman dan retensi terhadap pembelajaran:
Seperti yang kita tahu bahwa bagi sebagian orang hemisfer kiri terspesialisasi untuk mengkode informasi secara verbal, sementara hemisfer kanan mengkode informasi secara visual. Pada umumnya guru menghabiskan waktu untuk menjelaskan (berbicara) mengenai materi pembelajaran dan sedikit waktu yang dialokasikan untuk mengembangkan isyarat-isyarat visual. Proses membentuk isyarat visual ini disebut imagery, yaitu visualisasi dalam pikiran (membayangkan) mengenai suatu objek, peristiwa dan tampilan yang berkaitan dengan pembelajaran baru, serta merepresentasikan cara utama bagaimana informasi disimpan di dalam otak. Imagery berlangsung dalam dua cara: pertama adalah imaging (pencitraan), yaitu visualisasi dalam pikiran tentang suatu hal (benda atau peristiwa) yang benar-benar nyata. Kedua adalah imagining (mengkhayal/membayangkan/berimajinasi), yaitu menggambarakan suatu peristiwa yang belum terjadi, oleh sebab itu imagining tidak memiliki batas.
Imagery bisa dipahami sebagai gambaran-gambaran sederhana yang konkret dan juga pembelajaran motorik kompleks serta prosedur-prosedur multi tahap. Strategi pembelajaran ini memang kurang umum digunakan, oleh sebab itu perlu penerapan yang bertahap. Berikut ini beberapa panduan dalam penggunaan imagery sebagai sarana yang efektif dalam membantu meningkatkan pemahaman dan retensi terhadap pembelajaran:
1. Pemicu. Guru bisa menggunakan pemicu saat menugaskan siswa
membuat suatu gambaran dalam pikiran (mental image) mengenai konten yang sedang
dipelajari. Pemicu ini bisa sederhana seperti: “buat gambaran di pikiranmu
tentang……” atau dengan petunjuk yang lebih kompleks. Bagi siswa/i tingkat
bawah, pemicu harus lebih spesifik terhadap konten atau tugas yang diberikan
serta disertai dengan gambar/foto dan diagram yang relevan serta batasan yang
jelas.
2. Pemodelan. Mencontohkan citra yang diberikan oleh guru sebagai
model imagery bagi siswa dan menjelaskan bagaimana citra bisa membantu dalam
menginigat dan menggunakan pembelajaran yang baru. Guru juga mencontohkan
prosedurnya serta menugaskan siswa untuk mempraktikkan tahap-tahap imagery.
3. Interaksi. Guru harus mengusahakan membuat citra yang kaya dan
jelas dimana berbagai item berinteraksi. Semakin kaya suatu citra, semakin
banyak informasi yang disertakan. Bila terdapat dua atau lebih item di dalam
citra, maka item-item itu harus divisualisasikan berinteraksi satu sama lain. Misalkan
jika yang diingat adalah koala dan bola, maka imajinasikan koala sedang
menendang bola.
4. Memperkuat. Tugaskan siswa mendiskusikan tentang citra
yang mereka buat dan bagaimana citra ini membantu dalam pemelajaran. Pastikan siswa
mendapatkan cukup umpan balik dari teman-temannya, berkenaan dengan keakuratan
dan kejelasan dari citra yang dibuat.
5. Menambahkan konteks. Bila memungkinkan, bisa menambahkan
konteks terhadap interaksi yang terjadi pada citra. Misalnya, jika tugas siswa
adalah menghafalkan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran), konteksnya dapat
berupa parade prefiks pada bagian awal yang mengharuskan adanya sufiks untuk
melengkapi akhir parade.
6. Menghindari citra yang terlalu banyak. Meskipun citra
yang baik merupakan perwujudan dari apa yang sedang diingat, namun citra tidak
boleh melebihi kapasitas memori kerja, dimana pada remaja kapasitasnya adalah
lima sampai tujuh item.
-------- SELAMAT MENCOBA --------
Source:
Sousa, D. V., 2012, How the brain learns, 4th Ed., A. Sage Company
Sousa, D. V., 2012, How the brain learns, 4th Ed., A. Sage Company
Comments
Post a Comment