PEMBELAJARAN SOSIOKULTURAL (SOSIOHISTORIS)
PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL
(SOSIOHISTORIS) – VYGOTSKY
Lev Semenovich Vygotsky
Perspektif sosiokultural adalah perspektif teoritis yang menekankan
pentingnya masyarakat dan budaya dalam meningkatkan perkembangan kognitif
(Ormrod, 2008).
Para psikolog dewasa ini menyadari bahwa budaya membentuk perkembangan
kognitif dengan menentukan apa dan bagaimana anak akan belajar tentang dunia.
Contoh, anak-anak penjual permen di jalanan di Brazil tanpa sekolah belajar
matematika untuk membeli dan menjual permen, barter dan mengambil untung.
Budaya yang menjunjung tinggi kerjasama dan berbagi mengajarkan
kemampuan-kemampuan
Teori Sosiokultural menekankan peran dialog-dialog antara anak-anak dan
anggota-anggota yang lebih berpengaruh luas di masyarakat pada perkembangan anak.
Anak-anak belajar budaya dari komunitasnya (cara berpikir dan berperilaku)
melalui interaksi-interaksi tersebut (Woolfolk, 2008).
Interaksi sosial lebih dari sekedar pengaruh sederhana pada perkembangan kognitif –
interaksi sosial sebenanrnya menciptakan struktur kognitif dan proses
berpikir kita (Woolfolk, 2008).
|
Tema-tema dalam tulisan Vygotsky (Woolfolk, 2008):
1. Sumber-sumber sosial untuk pemikiran individual
(interpsikologi ke intrapsikologis)
Vygotsky
berpendapat bahwa setiap fungsi perkembangan kultural anak muncul dua kali: pertama-tama di tingkat sosial kemudian di
tingkat individual (di antara orang (interpsikologis) kemudian dalam diri anak
(intrapsikologis)). Proses-proses mental yang lebih tinggi pertama-tama
diko-konstruksi-kan selama kegiatan-kegiatan bersama antara anak dan orang
lain. Vygotsky menegaskan bahwa interaksi sosial lebih dari sekedar pengaruh,
tetapi merupakan asal muasal proses-proses mental yang lebih tinggi seperti
mengatasi masalah.
Contoh: seorang anak berusia 6 tahun kehilangan mainan
dan meminta bantuan ayahnya. Kemudian ayahnya menanyakan di mana si anak terakhir
kalinya meletakkan melihat mainan itu; anaknya menjawab: “saya tidak ingat”.
Kemudian ayahnya melontarkan serangkaian pertanyaan: di kamar? Di luar? Di
rumah sebelah? Untuk setiap pertanyaan itu si anak menjawab “tidak”. Ketika
ayahnya mengatakan “di mobil?”, anaknya menjawab “ya” dan pergi mengambil
mainannya.
Berdasarkan
contoh di atas, siapa yang mengingat di mana mainan itu? Jawabannya bukan si
ayah ataupu si anak, tetapi kedua-duanya. Mengingat dan mengatasi masalah
diko-konstruksikan-di antara orang-dalam interaksi. Si anak mungkin telah
menginternalisasikan berbagai strategi untuk digunakan kelak bila ada yang
hilang. Pada titik tertentu anak akan mandiri untuk mengatasi masalah yang
serupa.
Proses
yang dikonstruksikan – sebuah proses sosial berinteraksi dan
bernegosiasi dengan orang lain (biasanya secara verbal) untuk menciptakan
sebuah pemahaman atau untuk mengatasi masalah. Produk akhirnya dibentuk oleh
semua partisipan (Woolfolk, 2008).
|
Piaget
& Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam
perkembangan kognitif, tetapi Piaget melihat bahwa interaksi memiliki peran
lain. Piaget percaya bahwa interaksi mendorong perkembangan dengan
menciptakan disekuilibrium-konflik
kognitif-yang memotivasi perubahan. Jadi, Piaget yakin bahwa interaksi
yang paling membantu adalah interaksi antarsebaya kerena sebaya berdiri di
posisi yang sejajar dan dapat saling menantang pemikiran masing-masing.
Sementara Vygotsky mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak dibantu oleh
interaksi dengan orang-orang yang lebih mampu atau lebih maju pemikirannya –
seperti orangtua dan guru.
|
2. Peran perangkat kultural dalam belajar dan
perkembangan, secara khusus alat Bahasa.
Alat-lat kultural – alat-alat
riil (komputer, timbangan, dll) dan sistem simbol (angka, Bahasa, grafik) yang
memungkinkan orang dalam kelompok masyarakat untuk berkomunikasi, berpikir,
mengatasi masalah, dan menciptakan pengetahuan.
Vygotsky
menyakini bahwa alat-alat kultural memainkan peran yang sangat penting dalam
perkembangan kognitif. Misalnya, selama budaya hanya menyediakan angka-angka
Romawi untuk merepresentasikan kuantitas, maka cara-cara berpikir matematis
tertentu – mulai dari pembagian, perkalian, dll. – sulit atau bahkan mustahil
dilakukan (Woolfolk, 2008).
Vygotsky percaya
bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti penalaran, dan pemecahan
masalah, dimediasi (diselesaikan melalui dan dengan bantuan) alat-alat
psikologis (seperti Bahasa, isyarat dan simbol). Orang dewasa mengajarkan
alat-alat ini kepada anak-anak selama kegiatan sehari-hari dan kemudian mereka
menginternalisasikannya.
Ketika anak-anak
terlibat kegiatan dengan orang dewasa atau sebaya yang lebih mampu, mereka
bertukar ide dan cara memikirkan atau mempersepsikan konsep – misalnya
menggambar peta, sebagai cara untuk merepresentasikan ruang dan waktu. Ide-ide
yang dikokreasikan (diciptakan bersama) ini kemudian diinternalisasikan oleh
anak-anak.
3.
Zone of Proximal Development
ZPD adalah jarak
antara level perkembangan aktual yang ditentukan melalui pemecahan masalag
secara mandiri dan level potensi perkembangan yang ditentukan melalui pemecahan
masalah melalui bantuan orang dewasa atau kerjasama dengan teman-teman sebaya
yang lebih mampu (Schunk, 2012).
ZPD
merepresentasikan jumlah pembelajaran yang mungkin akan dijalani oleh seorang
siswa dengan kondisi-kondisi yang tepat. ZPD ini lebih merupakan sebuah tes
dari kesiapan perkembangan siswa atau level intelektual dalam bidang studi tertentu,
dan tes ini menunjukkan bagaimana pembelajaran dan perkembangan berkaitan dan
dapat dipandang sebagai sebuah alternatif dari konsepsi kecerdasan (Schunk,
2012).
Dalam ZPD,
seorang guru dan seorang siswa (dewasa/anak-anak, tutor/siswa tutoring, model/pengamat,
atasan/siswa magang, ahli/pemula) bekerja sama menghadapi tugas yang tidak
dapat dilakukan sendiri oleh si siswa karena tingkat kesulitannya.
ZPD mencerminkan
ide Marxist tentang aktivitas kolektif, dimana mereka yang tahu lebih banyak
atau lebih terlatih mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk
menyelesaikan tugas bersama mereka yang memiliki pengetahuan atau kemampuan
yang lebih sedikit (Schunk, 2012).
Asumsi-asumsi dasar Vygotsky (Ormrod, 2008)
- Melalui
percakapan informal dan sekolah formal, orang-orang dewasa menyampaikan
kepada anak bagaimana kebudayaan mereka menafsirkan dan merespon dunia.
Vygotsky mengemukakan bahwa pada saat berinteraksi dengan anak-anak,
orang-orang dewasa membagikan makna (meaning)
yang mereka lekatkan ke objek, peristiwa dan ke pengalaman manusia (secara
umum). Dalam proses tersebut, mereka mengubah atau memediasi
situasi-situasi yang dijumpai anak. Makna-makna tersebut disampaikan
melalui beragam mekanisme, di antaranya bahasa (bahasa lisan, tulisan), simbol-simbol
matematika, kesenian, music, literature, dan sebagainya. Kebudayaan secara
spesifik menanamkan konsep-konsep, gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan
yang unik. Anak-anak yang berasal dari latarbelakang kebudayaan yang
berbeda akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir yang
cenderung berbeda pula.
- Setiap kebudayaan menanamkan perangkat-perangkat
fisik dan kognitif yang menjadikan kehidupan sehari-hari semakin produktif
dan efisien.
Comments
Post a Comment